Mama su trada kabar. Rasa ni seperti berdiri di tengah badai tanpa arah, diterpa angin sepih menusuk hingga tulang. Trada lagi tempat berteduh. Dunia trasa kosong, sunyi, dan seolah kehilangan warna sejak kau trada di sini. Sa su coba mencari sisa-sisa hadirmu di udara, di setiap sudut rumah, tetapi hanya kekosongan.
Ko su pergi begitu tenang, dalam sunyi yang begitu menghancurkan. Rasa ini seperti melihat lilin terakhir padam di ruangan gelap. Smua yang pernah hangat kini dingin, membeku bersama rindu yang tak mungkin tertawar. Hati ini hancur, Mama, seperti gelas yang pecah menjadi serpihan kecil, trada yang bisa menyatukannya lagi. Setiap serpihan itu adalah kenangan yang tajam, melukai setiap kali sa ingat engkau.
Natal datang dengan gemerlap lampu dan suara tawa. Tahun baru mengetuk pintu dengan harapan baru. Tapi sa? Sa hanya bisa menatap mereka dari kejauhan, seperti melihat pesta di tengah gurun tanpa air. Sorak sorai itu kosong, Ma. Smua kilauan itu hanya menambah kehampaan, karena bagaimana mungkin ada kebahagiaan saat kau tak lagi di sini?
Ko su trada, hilang bagai malam tanpa akhir. Sa berjalan di lorong panjang tanpa cahaya, hanya ditemani oleh bayangan rasa bersalah karena tak bisa memelukmu lebih lama, tak bisa mencintaimu lebih dalam saat waktu masih ada. Sa bertanya pada langit setiap malam: kenapa mama harus pergi tanpa kata berpisah? Kenapa kau meninggalkan sa anak ksayangamu dengan rindu yang tra bisa kutitipkan pada siapa pun?
Kau ajar sa tentang cinta, ketulusan, dan keikhlasan yang tra pernah berharap balasan. Dalam sederhanaanmu, kau menciptakan harmoni. Setiap bait lagu yang kau ciptakan menjadi puisi kehidupan, menuntun langkah kami dan gereja bahkan saat dunia ini terasa begitu berat. Buku-buku lagu yang kau cipta, yang penuh dengan harapan dan iman, adalah warisan yang akan terus berbicara meski suaramu kini tak lagi terdengar. Kau meninggalkan jejak di hati kami yang tak akan pernah pudar, bahkan di tengah kabut penindasan.
Tapi Ma, sa belum bisa kuat. Ko tu sapu akar, dan sa menjadi dahan yang rapuh, terombang-ambing oleh angin tanpa kekuatanmu untuk tahan sa kuat. Ko itu sapu matahari di pagi hari, dan kini sa hanya bayangan yang tersesat dalam senja. Tanpa kau, waktu terasa membeku, dan setiap hari adalah pertarungan dengan kenyataan bahwa sa tra akan pernah mendengar suaramu lagi, tak akan pernah merasakan pelukan hangat dan suara panggilan di handphone.
Sa akan mencoba bertahan, Ma, meski setiap langkah trasa berat. Setiap malam adalah tangis tanpa suara, setiap pagi adalah perjuangan untuk bangkit. Jika sa bisa meminta satu hal, sa hanya ingin satu detik lagi bersama ko, untuk bilang sa sayang mama lebih dari apa pun, bahwa hidup tanpamu adalah luka yang tra akan pernah sembuh.
Ko pergi membawa sebagian dari jiwa ini, dan sisanya akan terus mencari jalan untuk bertemu denganmu lagi, entah kapan, entah di mana. Sampai saat itu tiba, sa akan tetap membawa kenanganmu sebagai api kecil yang menyala di tengah kegelapan. Istirahatlah dengan damai, Mama. Aku akan selalu mencintaimu, sampai waktu berhenti.
Oleh, Victor F, Yeimo
Photo: Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua di Jakarta, Sumber, Mulait Ambo 2024
ReplyForward |