Jakarta itu kecil, serupa
butir pasir di tepi lautan mimpi, tempat
segalanya bermula, tempat suara muda menjelma badai yang tak tertahan.
Di jalan-jalan sempitnya, di bawah gedung-gedung yang
menjulang, ada pemuda yang menatap ke langit malam, membisikkan sumpah yang
menggetarkan bumi: "Ini bukan hanya tentang hari ini, ini tentang esok
yang takkan kita biarkan hilang."
Di seberang lautan biru, Papua Barat berdiri teguh, dalam
sunyi yang dipaksa, namun tak pernah benar-benar diam. "Bangsa ini,"
bisik mereka, "adalah milik kita, kita yang terdidik, kita yang tahu
bagaimana memegang pena, dan menorehkan sejarah baru dengan darah dan air
mata."
Jakarta menyambut teriakan itu, bukan sebagai kota yang
abai, tapi sebagai saksi perlawanan abadi. Dari trotoar retak hingga aula
megah, nama-nama pemuda bergema, memanggil satu sama lain dalam kesatuan.
Ketidakadilan adalah bara, yang tak pernah bisa dipadamkan
oleh waktu.Ia membakar, melahirkan keberanian yang menjalar, dari kampus, dari
desa, dari pojok-pojok sunyi yang sering terlupakan."Kesatuan adalah
senjata kita," teriak pemuda dari segala penjuru,"dan pendidikan
adalah nyawa perjuangan ini."
Jakarta itu kecil, tetapi bayangannya menjalar ke tanah
Papua, di mana bendera perjuangan dikibarkan tinggi, di mana gula-gula manis
tak lagi memabukkan, dan mereka tahu: janji kosong takkan mampu membungkam
pemuda.
Hari ini, pemuda berdiri, mengambil tempatnya di panggung sejarah. Mereka tak lagi bertanya kapan, mereka tak lagi menunggu siapa. Kini saatnya. Kini waktunya. Pemuda pimpin langkah, dan bangsa, dengan sendirinya, akan menemukan jalannya.