West Papua In My Fixation.In My Fixation I Feel a Vibration of Love and Struggle of Blood. In My Suffering I Think, Act, Organize to Move, Fighting for a Future Dignity, Shake Off the Yoke.
Oleh, Victor
Yeimo.
Kalau sejarah
kolonisasi West Papua didasari motif ekonomi politik, maka teori ekonomi
politik Karl Marx perlu dalam gerakan Papua Merdeka. Selama kapitalisme masih
menjadi penyokong dan pendukung utama kolonialisme Indonesia, Marxisme masih
relevan sebagai senjata perlawanan Rakyat West Papua. Selama pendudukan
kolonial Indonesia di Papua dipimpin oleh pemerintahan-pemeritahan (yang pro)
kapitalis kita tetap membutuhkan filsafat marxist. Tidak hanya faktor
eksternal, selama ada penindasan dalam internal orang Papua, Marxisme
dibutuhkan. Begitulah Marxisme, dikatakan ilmiah karena selalu didasarkan pada
realitas objektif.
Yang
disebut kelas tertindas di West Papua adalah orang Papua yang telah menjadi
objek ekonomi politik kolonial dan kapitalisme global. Ada relasi produksi
antara kolonial dan kapitalis yang menyebabkan West Papua menjadi ladang
pembantaian dan eksploitasi. Lalu kekuatan suprastruktur (media, hukum, dan
aparatnya) memproduksi (mempropagandakan) ide-ide prakmatis, utopis dan
hegemonik.
Orang Papua tahu
sejarah dan realitas penindasan di bawa penguasa Indonesia. Tetapi, kolonial
kapitalis yang militeristik dan ekspansionis telah memaksa mereka bekerja dalam
struktur pemerintahan kolonial, kapitalis dan militer. Pada posisi ini rakyat
Papua bisa dikategorikan sebagai proletar yang tidak memiliki modal dan
alat-alat produksi dalam masyarkat kolonial dan kapitalis (mereka teralienasi
dari aktivitas produksi tradisional), sehingga cara satu-satunya adalah kerja
di bawa penguasa yang menjajah dan mengekskploitasi mereka agar bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Sekali lagi, orang
Papua yang hidup dibawa kolonial dan kapitalis tergolong dalam kelas-kelas
sosial, yang secara tidak langsung, dikontruksi oleh hegemoni kolonial dan
kapitalis. Dalam pandangan kelas penguasa, dengan makin banyak orang Papua
bekerja dalam dan untuk sistem, struktur dan program kolonial-kapitalis, mereka
mendapat legitimiasi dan dukungan politik bagi kejayaan kolonial dan kapitalis.
Sebaliknya, orang Papua dalam ketidakberdayaannya bekerja untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa semangat membangun kejayaan politik kolonial dan
kapitalis di West Papua.
Tidak ada kesadaran
perlawanan disini sebab ada idelogi dan kesadaran palsu yang diciptakan, dijaga
dan dikontrol penguasa ekonomi politik. Para Maxian seperti Antonio Gramsky
menyempurnakan dengan teori hegemoni.
Ketika uang menjadi
alat transaksi barang dan jasa, ideologi kapitalis bekerja membentuk kesadaran
palsu. Relasi sosial dibentuk oleh nilai uang. Manusia dilihat sebagai
komodiatas ekonomi. Itulah yang terbangun di Papua. Orang rela diperbudak
kolonial dan kapitalis karena uang. Orang Papua suksesi agenda-agenda kolonial
bukan demi NKRI, tetapi karena uang. Bahkan orang Papua jual tanah, jual harga
diri, saling membunuh dan menjual karena uang. Uang seakan menjadi tuhan
penentu nasip orang Papua.
Mengapa itu
terjadi? Karl Marx benar, yang menjadi dasar semuanya adalah motif ekonomi.
Karl Marx juga bilang, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya,
tetapi keberadaan sosial manusia yang menentukan kesadarannya” (London: Penguin
Books, 1992). Itu yang menjadi pegangan kolonial dan kapitalis dalam membentuk
struktur penindasan Papua. Mereka tahu bahwa cara satu-satunya untuk
mempertahankan kedaulatan politiknya adalah memegang kendali ekonomi Papua:
Menciptakan ketergatungan akut pada produksi barang dan jasa milik kolonial dan
kapitalis.
Mind set kapitalis
dibentuk sebagai satu-satunya indikator peningkatan ekonomi. Orang Papua lantas
distigma “tidak mampu bersaing”, “tidak produktif, tidak kreatif dan inovatif
dalam mengola kemandirian ekonomi. Lalu segala sektor produktif ditempati oleh
masyarakat penjajah (kaum pendatang) dengan paradigma mereka lebih maju dan
produktif, mereka pemacu ketertinggalan Papua, dsb. Pada dikotomis seperti ini
berlaku juga fetisisme ras dan komoditas.
West Papua masih
pada fase awal dari expansi kolonial dan kapitalis. Pada tahap ini, Papua masih
menjadi wilayah koloni empuk, yang menyediakan sumber bahan mentah produksi dan
didistribusi bagi pasar kolonial dan kapitalis. Sebagai wilayah protekrotat
kolonial, prioritas pembangunan West Papua seperti infrastruktur, komando
torial militer -dengan kekuatan suprastruktur- secara masif terus dilakukan
demi memberi jaminan bagi aktivitas ekspoloitasi kapitalis.
Bagaimana Melawan?
Marxisme selain
sebagai metode ilmiah tetapi juga praksis -kombinasi teori dan praktek. “Para
filsuf hanya menginterpretasi dunia, dengan berbagai cara; yang terpenting
adalah bagaimana mengubahnya (Tesis tentang Feuerbach, tesis XI). Ia tidak
hanya selesai dalam membantu kita menganalisis struktur penindasan di West
Papua, tetapi menyarankan praktek revolusi. Pemahaman realitas (teori) harus
diartikulasikan dalam perlawanan untuk merubah realitas. Kelas tertindaslah
yang harus bangkit melawan (Marx merujuk kelas proletar dan borjuis di Eropa
pada abad ke-19 dimana ia hidup).
Harus diingat bahwa
dalam prakteknya, suksesi teori Marxist dimatrialkan dan ditransformasi dalam
berbagai bentuk oleh Lenin, Stalin, Mao, Tan Malaka, Alan Woods hingga berbagai
varian di abad 21 kini. Teori Karl Marx masih menjadi panduan umum, walaupun
akan selalu dimodifikasi sesuai realitas objektif seperti Antonio Gramsky,
Frantz Fanon, Amircal Cabral. Membuat marxisme tidak lagi dipahami vulgar,
ortodox dan atau mekanis. Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme
setepat-tepatnya adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses
perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Dalam kasus West
Papua, harus ada kesadaran revolusioner dalam masa rakyat West Papua. Tugas
seperti inilah yang menurut Lenin harus digerakan oleh partai revolusioner.
Selama belum ada intervensi kader revolusioner yang memahami cita-cita
sosialisme, maka tidak akan pernah ada perubahan dari kuantitas menuju
kualitas. Artinya, revolusi sosialis akan tercapai bila kader revolusioner
memimpin dan masa rakyat West Papua yang terjajah terlebih dahulu merebut
revolusi demokratik melalui perjuangan kemerdekaan.
Masa rakyat West
Papua yang mengalami penindasan struktural harus diorganisir dalam organisasi
gerakan revolusioner. Harus dibangun struktur basis masa rakyat West Papua yang
revolusioner, lalu membangun budaya perlawanan dengan metode-metode praktis,
militan, progresif dan revolusioner. Adalah cara melawan budaya bisu, budaya
inlander, pragmatis, konsumtif dan segala kedasaran palsu yang dibangun
kolonial dan kapitalis.
Kader-kader
revolusioner harus tunduk pada program (strategi taktik), dan dengan setia
melaksanakan agitasi dan propaganda dalam melawan kelompok kontrak revolusi
yang masuk menguasai ruang-ruang publik. Agitasi dan propaganda harus diarahkan
pada tujuan ideologis dari sosialisme, dengan selalu membeberkan kebobrokan
sistem dan praktek kolonial-kapitalis, yang telah menyebabkan krisis, stagnasi
ekonomi, keterasingan, kesadaran palsu, dan fetisisme komoditas sebagaimana
yang diramalkan Karl Marx benar.
Lantas kader-kader
sebagai tulang punggung revolusi West Papua itu sudah harus dipersenjatai
dengan teori/filsafat sosialisme. Itu berguna agar praksis tidak membawa
gerakan perjuangan dalam sentimen primordialisme kesukuan dan keagamaan yang
konservatif bahkan reaksioner.
Kolonialisme adalah
anak kandung dari kapitalisme. Dan, tahapan tertinggi dari kapitalisme adalah
imperialisme yang telah menyebabkan status hukum dan politik West Papua
digantung. Adalah mustahil melawan kolonialisme Indonesia tanpa perlawanan pada
kapitalisme yang menyokong kolonialisme Indonesia di West Papua.