17 Agustus 1945 dan Perjanjian New York.
Oleh,Victor Yeimo.
“Jubur Internasional Komite Nasional Papua Barat
(KNPB)”.
Sampai pada tahun 1960, West Papua adalah jajahan Belanda,
diklasifikasikan oleh hukum internasional dan terdaftar sebagai wilayah tak
berpemerintahan sendiri di PBB. Bukan bagian resmi dari Indonesia sebagaimana
klaim Indonesia bahwa West Papua sudah menentukan nasib melalui proklamasi 17
Agustus 1945. Maka, atas resolusi 1514 (XI) PBB tentang kemerdekaan bagi
wilayah-wilayah jajahan, maka Belanda selaku pemegang administrasi
mempersiapkan kemerdekaan West Papua sebagaimana manifesto politik West Papua 1
Desember 1961.
Indonesia halangi proses dekolonisasi West Papua, atau hak hukum rakyat
West Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai semangat deklarasi PBB
dilanggar dengan mengokupasi teritori West Papua. Presiden Soekarno melancarkan
ekspansi politiknya di West Papua dengan kekuatan militer membuat West Papua
menjadi sengketa internasional. Konspirasi ekonomi politik AS, Belanda dan
Indonesia melahirkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Perjanjian New York, sekalipun tidak melibatkan rakyat West Papua dan
merupakan rekayasa AS, Belanda dan Indonesia, tetapi perjanjian itu menjadi
landasan hukum internasional bahwa Indonesia, Belanda dan PBB mengakui kembali
West Papua sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri yang memiliki hak hukum
substantif untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka sesuai perjanjian itu,
Indonesia mengambil peran kekuasaan administrasi dari kolonial Belanda pada 1
Mei 1963 untuk mendorong hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
Jadi, 1 Mei 1963 itu adalah penyerahan kekuasaan administrasi kolonial,
bukan penyerahan kedaulatan West Papua ke tangan Indonesia. Artinya, Indonesia
diberi mandat untuk memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua, sama
dengan mandat yang diemban Australia untuk memerdekakan PNG, atau Inggris
kepada Fiji, Prancis dan Inggris kepada Vanuatu, Portugis kepada Timor Leste,
atau sekarang Prancis yang sedang melaksanakan referendum untuk Kanaky.
Mandat inilah yang tidak dilaksanakan Indonesia sampai saat ini. Pepera
1969 bukan suatu penentuan nasib sendiri, karena tidak dilaksanakan sesuai
prinsip dan standar hukum internasional. Indonesia tidak melaksanakannya sesuai
persyaratan prosedur internasional sebagaimana Pasal 73 Piagam PBB. Pepera 1969
bukan suatu integrasi tetapi aneksasi sepihak karena keputusan untuk
berintegrasi dengan sebuah negara yang sudah ada bisa sah hanya jika proses
integrasi itu memenuhi persyaratan-persyaratan Prinsip IX Resolusi Sidang Umum
PBB 1541(XV).
Melinda Janki, pengacara Internasional mengatakan: “Pepera gagal
memenuhi satu pun kriteria untuk sebuah proses penentuan pendapat rakyat yang
sah di bawah hukum internasional”. Pomerance menganggap Pepera sebagai “sebuah
pro forma (basa-basi) dan tindakan palsu. Cassese mendeskripsikan integrasi
West Papua ke Indonesia sebagai “sebuah penyangkalan besar terhadap hak
penentuan nasib sendiri, sebuah pilihan palsu, sebuah sandiwara dan
pengkhianatan besar terhadap prinsip penentuan nasib sendiri.
Karena itu, teritori West Papua hingga saat ini berstatus sebagai
wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (non self government territory)
dibawa pendudukan kolonial Indonesia. Sehingga Indonesia memegang mandat
kepercayaan suci untuk wajib segera memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa
Papua sesuai piagam PBB.