HASIL PEPERA 1969 DI PAPUA TIDAK PERNAH DISAHKAN PBB TAPI HANYA TAKE NOTE (DICATAT) DAN PENDUDUKAN INDONESIA DI PAPUA ILLEGAlL
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman
Sekarang, kami sudah Sekolah. Kami sudah tahu. Kami sudah mengerti. Indonesia tidak bisa bohongi dan tipu kami lagi di atas Tanah leluhur kami. Tidak ada tempat untuk berbohong dan tidak ada kolong untuk Indonesia bersembunyi. Matahari tetap mahahari. Bulan tetap bulan. Bintang tetap bintang. Indonesia tidak dapat mengubah posisi tiga benda penerang ini dengan kebohongan dan moncong senjata. Karena mereka penerang sejati sebagai karya unik Allah.
Resolusi PBB 2054 bukan resolusi politik dan resolusi itu tidak dinyatakan dengan tegas Papua Barat bagian dari wilayah Indonesia. Ada dua isi resolusi PBB 2054 yang belum banyak diketahui oleh penguasa Indonesia, TNI-Polri, rakyat Indonesia dan rakyat Papua.
Isi resolusi 2054 PBB tersebut terdiri dari dua butir, yakni :
1. Mencatat (take note) laporan dari Sekretaris Jenderal dan memahami dengan penghargaan pelaksanaan tugas oleh Sekretaris Jenderal dan wakilnya yang dipercayakan kepada mereka sebagaimana tercantum di dalam persetujuan tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda.
Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda dalam hasil penelitiannya hasil Pepera 1969 yang dibiayai Pemerintah Belanda mengatakan:
"Laporan ini (baca: hasil Pepera 1969) hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U.Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U.Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (,the), karena nilai-nilai proses itu jauh dibawa standar yang diatur dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962." (Sumber: P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, 2010:784).
Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya DICATAT (TAKE NOTE). Istilah Take Note itu tidak sama dengan disahkan. Jadi, hasil Pepera 1969 tidak disahkan, tapi dijadikan sebagai catatan saja.
Mengapa hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya DICATAT/TAKE NOTE? Karena ada perlawan keras dari Negara-Negara Afrika.
Mengapa Negara-Negara Afrika menolak hasil Pepera 1969 dalam Sidang Umum PBB pada september 1969? Karena, Pepera 1969 dimenangkan oleh militer dengan moncong senjata dan tidak dipilih oleh 1.025 peserta Dewan Musyawarah Pepera 1969 yang dipilih dan ditunjuk oleh ABRI.
Apakah benar ada bukti keterlibatan militer dalam pelaksanaan Pepera 1969?
Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).
Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).
"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).
Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."
(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).
Militer Indonesia Menghancurkan Masa Depan Rakyat West Papua
Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.
Sintong Panjaitan dalam bukunya: "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" dengan jelas mengakui keterlibatan militer dalam memenangkan Pepera 1969, sebagai berikut:
"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial, dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan Pepera hari tahun 1965-1969, maka saya yakin Pepera 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Merdeka. ...Banyak pendukung kelompok Pro-Papua Merdeka yang kami tewaskan dalam kontak senjata. "
Benar apa yang disampaikan Sintong Panjaitan bahwa pada saat Pepera 1969, mayoritas 95% rakyat West Papua memilih merdeka.
"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
2. Menghargai tiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui cara-cara lain kepada Pemerintah Indonesia di dalam usaha-usahanya untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat.
Beberapa catatan dari Sidang Umum PBB:
a. Pada sidang tanggal 13 November dan sidang sesi pagi 19 November 1969 ketika membahas pelaksanaan AFC atau Pepera berdasarkan laporan Sekjen PBB, tidak diambil keputusan politik tentang status politik Papua Barat. Banyak delegasi menolak pelaksanaan AFC ala Indonesia sehingga hasilnyapun ditolak. Karena itu tidak ada ratifikasi pengesahan hasil AFC atau Pepera tersebut.
b. Di dalam dua butir resolusi di atas tidak secara tegas mencatat bahwa PBB mengakui dan mengesahkan Hasil Pepera atau AFC. Juga tidak ditegaskan Papua Barat dihapus dari daftar daerah dekolonisasi dan menjadi wilayah integral Indonesia.
c. Di dalam kedua butir resolusi diatas hanya menyatakan pengakuan atas selesainya pelaksanaan tugas Sekjen PBB berdasarkan persetujuan New York 1962;
d. pemberian dukungan bantuan internasional terhadap pembangunan Papua Barat melalui Bank Pembangunan Asia.
e. PBB hanya mencatat Resolusi tersebut dalam buku agenda PBB dengan nomor Resolusi 2504 (XXIV); namun naskah resolusi tersebut tidak diratifikasi/ditanda-tangani oleh negara-negara anggota PBB.
(Sumber Agus A. Alua, Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: suatu ikhtiar kronologis, Hal. 75-76)
Pdt. Dr. Karel Philipus Erari (lebih dikenal Phil Erari dengan jelas mengatakan:
"Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah. Bagi Gereja dan bangsa Papua, kehadirannya dalam konteks NKRI, diwarnai oleh konflik dan masalah. Papua, oleh banyak pengamat, disebut sebagai provinsi bermasalah, mungkin karena awal kehadirannya 'illegal', sehingga semua kebijakan selanjutnya penuh dengan masalah dan sebagaimana illegal, atau bertentangan dengan hukum dan keadilan." (Sumber: Erari, Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru: Lima Puluh Tahun Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, 2006, hal. 182, 192).
Robin Osborne mengatakan:
"Saya bukanlah satu-satunya peneliti yang menyimpulkan bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan PREMIS YANG KELIRU. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang DIPILIH PEMERINTAH INDONESIA memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikakan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini, PREMIS ini DIRAGUKAN KEABSAHANNYA berdasarkan hukum Internasional." (Sumber: Osborne: Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, 2001,xxii).
Prof. J.P. Drooglever pada saat peluncuran bukunya di Gedung Parlemen Inggris, London, pada 1 Desember 2009 pernah menyatakan:
"Empat puluh tahun yang lalu, secara ironis, dilaksanakan namanya Pepera 1969 (Act of Free Choice). Tapi, sebenarnya tidak ada pemelihan. Itu terjadi dua skandal, yaitu (1) skandal aneksasi secara ilegal Indonesia tentang Papua Barat; dan (2) skandal kolusi dan konspirasi internasional dengan Indonesia."
Kebohongan dan kejahatan penguasa Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua selama 58 sejak 1 Mei 1963 ini telah menjadi LUKA BOROK yang MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Apakah penguasa Indonesia, TNI dan Polri masih tetap memelihara, merawat, menjaga dan mempertahankan LUKA BOROK yang MEMBUSUK DAN BERNANAH ini?
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan:
"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).
"...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
"Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun."
"Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat."
"Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005."