Peradaban
berkembang baik karena pendidikan yang baik, dan salah satu aspek pendidikan
yang penting ialah aspek literasi. Di masa ini, literasi sering juga dikaitkan
dengan penguasaan tekhnologi informasi. Namun, di sini dipaparkan hal yang
lebih sederhana dan substansial yaitu soal kemampuan membaca, memahami dan
menginterpretasi teks.
Tampak
banyak yang mengeluh soal literasi; yaitu kemampuan membaca, memahami dan
menginterpretasikan suatu bacaan. Sebagian mungkin menganggap remeh; soal
membaca dan menafsir. Namun bisa jadi penting. Sekurang-kurangnya ada dua
alasan.
Pertama,
tingkat literasi jadi salah satu kriteria tingkat pemahaman seseorang. Orang
yang terlatih membaca, memahami dan menafsirkan bacaan, diandaikan juga
terlatih mampu membaca, memahami dan menafsirkan realitas. Sementara tingkat
literasi yang rendah membuat orang sulit menafsirkan secara objektif sebuah
teks, sehingga ia sulit membedakan fakta dan fiksi, kebenaran media dan hoaks.
Tentu soal ini bukan kepastian matematis, namun semacam perkiraan umum dan
standar.
Kedua,
walau literasi tidak menentukan keberhasilan hidup seseorang, ia penting bagi
sentuhan rasa kemanusiaan. Seorang insinyiur tidak perlu dialog Sokrates untuk
membangun jembatan. Seorang petani juga tidak butuh karya sastra untuk menanam
padi. Namun, literasi berada dalam dimensi yang berbeda, yaitu membentuk rasa
kemanusiaan. Dalam dunia multidimensi, seorang insinyiur mesti seorang yang
peka dengan soal kemanusiaan, atau petani mesti juga jadi petani yang punya
rasa kemanusiaan.
Umumnya,
dalam masyarakat sederhana, kebutuhan akan sentuhan kemanusiaan disediakan oleh
agama. Di kampung-kampung di Flores, setiap hari minggu, bacaan-bacaan saat
ibadat atau misa sesungguhnya berisi karya literer, yang berisi cerita dan
pesan moral yang dibagikan dengan penafsiaran yang khas. Masyarakat mungkin
tidak paham banyak soal karya literer, namun mereka terbiasa mendengarkan karya
literer terbaik, yang berisi pesan kemanusiaan. Kemanusiaan bersifat universal,
dan penafsiran agama yang benar sesungguhnya membawa pesan kemanusiaan.
Karenanya, di kampung terpencil di Flores, orang tidak perlu toleransi
antaragama, karena persaudaraan dan kemanusiaan sudah menjadi bagian dari
penafsiran literer religius, yang telah jadi semacam psikologi sosial. Orang
tidak mengerti teologi, namun orang tahu bahwa penafsiran injili sejati mesti
mempersatukan dan mendamaikan. Beda agama tidak pernah jadi sebab perpecahan.
“Perang Badar” mudah tersulut, jika orang menyinggung soal tanah atau hak
ulayat.
Namun,
masyarakat kini semakin terbuka, dan pengaruh-pengaruh moral kini tidak lagi
didapat melalui guru agama atau pemimpin religius, namun juga melalui media.
Sayangnya, dalam banyak hal media justru menyebarkan hoax, atau hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan, kebenaran dan realitas. Karena itu, tingkat
literasi justru semakin penting, karena membaca karya-karya yang bermutu
menyentuh orang pada hal yang baik, benar, indah dan manusiawi, sekaligus
membuat orang semakin kritis.
Namun,
justru soalnya ialah bahwa karya-karya bermutu selalu dianggap tidak mudah,
sekaligus tidak menarik. Dalam membaca, orang biasanya memilih hal yang menarik
atau dianggap mudah, padahal tidak selamanya berkualitas. Bagaimana hal ini
disiasati?
Saya ingat
pepatah Latin: “Pilihlah yang terbaik: kebiasaan akan membuatnya menarik dan
mudah” (Optimum elige, suave et facile illud faciet consuetude). Hal terpenting
dalam literasi sebenarnya soal kebiasaan memilih bacaan paling berkualitas.
Saya pernah menganggap bahwa karya Roland Barthes tidak mudah dan tidak
menarik. Namun, bagi sahabat saya Luis Aman, atau sama saudara saya Ve Nahak,
Barthes sedemikian menarik, karena berkualitas. Pada akhirnya, setelah dengan
sedikit usaha membaca, perasaan subjektif saya berubah; Barthes jadi menarik.
Di sini saya melihat bahwa pada akhirnya, hal yang menarik secara objektif
berhubungan dengan kualitas, bukan kesan pertama seperti mudah dan
menarik.
Bias umum
yang tersebar ialah bahwa bacaan bermutu selalu berat dan filosofis. Namun,
justru yang berat dan filosofis membuat orang terpacu menjadi lebih baik dan
kritis.
Ungkapan
sederhana orang Prancis mungkin relevan: “Joindre l’utile à l’agréable”. Secara
sedikit bebas: “Berangkat dari hal yang berguna, menuju yang menyenangkan”.
Jadi, daripada berangkat dari yang menyenangkan kemudian berharap menuju yang
berguna atau berkualitas (biasanya sulit tercapai), lebih baik berangkat dari
hal yang berguna atau berkualitas, kemudian hal-hal tersebut jadi
menyenangkan.
Pada
akhirnya, jika kualitas yang diutamakan, kita akan terpesona dan tertarik
belajar lebih banyak. Jika kita mengutamakan yang mudah dan menarik, kita akan
lekas bosan, dan pada akhirnya kita menganggap aktivitas membaca seakan
membuang waktu.
Salam
literasi.
Literature
Papua.com
Catatan:
1.Tulisan ini telah di upload oleh akun Facebook "Literatur Papua.com". Namun, kami muat kembali di media ini atas Izin dari penulis dan admin. Semoga Tulisan ini dapat membantu kita dalam memahami tentang pentingnya literasi. Sekian dari kami Tuhan memberkati!
Gambar Ilustrasi menyukai buku untuk menambah pengetahuan. Sumber photo: Kuliahdesa.com.