Tahun 2017 Kelompok oportunis yang reaksioner berusaha hancurkan KNPB dengan tuduhan KNPB dorong agenda dialog jakarta Papua.
Kemudian mereka sebarkan propaganda dengan narasi subyektif,
kemudian mereka keluar dari KNPB, hal yang sama mereka lakukan saat ini menolak
hasil KTT II ULMWP.
Pada hal agenda perundingan atau dialog itu disepakati
sama-sama dalam ULMWP bukan di KNPB. Saat itu mereka meninggalkan KNPB keluar
bikin Organisasi baru PK-NRWP, dan Komite Aksi ULMWP.
Hal yang sama sedang terjadi dalam ULMWP dari kelompok yang
sama. Pada hal mereka sendiri memutuskan struktur kepemimpinan yang baru
regulasi yang baru dan mereka juga menduduki jabatan dalam ULMWP.
Kelompok ini tidak berfikir proses sampai ke revolusi
demokratik atau kekuasaan direbut dari negeri terjajah dan rakyat jadi subyek
pejuangnya.
Mereka berharap Internasional yang akan memberikan hak
penentuan nasib sendiri belas kasihan. Ini sama saja orang buta menurut orang
buta karena mereka tidak obyektif dinamika politik dunia bergerak seperti apa
saat ini.
Mereka melakukan pembusukan dengan manuver untuk hancurkan
persatuan dalam ULMWP baku rebut jabatan. Mereka selalu berpikir subyektif,
mereka ingin hanya mereka memimpin tidak boleh orang lain meminpin mereka.
Kelompok Ini menolak hal KTT II ULMWP bukan karena masalah
subtansi perjuangan namun hanya karena mereka tidak dapat jabatan ketua ULMWP
pada saat KTT II di Vanuatu sehingga balik di Papua menolak hasil KTT ULMWP.
Pada hal yang mengesahkan hasil KTT ULMWP Buchtar Tabuni,
Edison Waromi dan Iche Murib dari kelompok Pemerintahan sementara itu.
Kecuali kami organisasi gerakan di dalam negeri yang menolak
hasil KTT masuk akal karena kami wolck aut atau keluar tinggalkan ruangan dalam
pembahasan komisi.
Kami keluar ruangan bukan karena sentimen subyektif dan
bukan Anti ULMWP tetapi untuk menjaga persatuan dalam Perjuangan.
Karena usulan kami kembalikan wadah kordinasi tidak
menggunakan hirarki Trias politika tidak diterima dan tidak ada ruang bagi
organisasi gerakan dalam negeri menjadi anggota ULMWP tanpa ada syarat
faksional.
Hal ini tidak diakomodir dalam ULMWP namun kami menghormati
apa yang diputuskan dalam ULMWP sebagai pejuang-pejuang yang sadar menghormati
keputusan kolektif dan regulasi yang ada di ULMWP.
Kami sebagai pejuang yang sadar pentingnya persatuan dan
agenda strategi perjuangan bersama kedepannya kami diam karena ada keputusan
kolektif internal organisasi masing-masing belum menyikapi hasil KTT II ULMWP.
Isu Dialog Jakarta Papua Hanya kamfulase untuk menutupi
kesalahan mereka janjikan kepada publik Papua.
Dan ini dinamika terjadi tahun 2017 yang lalu, mungkin
mereka tau salah tetapi terlanjur salah maju mundur Kena.
Berikut catatan
pengalaman di KNPB dan dinamika yang terjadi tahun 2017 lalu.Ada Kekeliruan
Berpikir
Apa yang terjadi Tahun lalu 2016-2017 lalu Training
negosiasi atau dialog yang di Bangkok pada awal September 2023, diikuti Kaka
Benny Wenda, Buchtar, Edison Waromi, Oridek Ap tahun ini.
Hal ini proses sama yang dilakukan bersama JDP di tempat yang sama (Bangkok)
tahun 2016 yang diikuti semua pimpinan Eksekutif ULMWP (terkecuali BW tetapi
dia juga sepakati agenda ini).
Padahal, kalau harus dibuka dokumen pelatihan atau training
tahun 2016 dan Sekarang Benny Wenda dan Buchtar Tabuni ikut di Bangkok tahun
ini sama. Memiliki punya 1 jaringan kerja sama atau satu sumber. lihat dari
proses maka ini soal baku rampas jabatan di ULMWP isu Dialog kamfulase seperti
terjadi sebelumnya.
Saat itu Kaka Andy Ayaimseba Buchtar Tabuni dan semua
komplotan ini gunakan isu itu utk menghancurkan dan mengadu domba para
pemimpin, memecah bela BW dan OM sampai
dengan puncaknya di KTT l ULMWP 2017.
kampanyekan isu dialog hingga KNPB dan semua yang mau kerja
dalam ULMWP saling curiga dan adu domba hingga saat ini.
Pertanyaannya, 2019 saat momentum aksi anti rasisme tercipta
dan Jakarta minta KNPB dan ULMWP berunding, ULMWP dan KNPB tidak siap dengan
konsep dan strateginya.
Kaka Benny Wenda justru meminta Jakarta berunding dalam
situasi perpecahan internal dan ketidaksiapan gerakan Papua.
Akibatnya BIN manfaatkan momentum dan membawa 62 delegasi
Barisan Merah Putih ketemu Presiden di Istana dan lahirlah perpajakan otonomi
khusus jilid II Pemekaran provinsi saat ini.
ULMWP dianggap tidak representasikan aktor-aktor di Papua
karena semua organisasi progress yang sedang eksis melawan kolonialisme
dicurigai.
Termasuk PRP yang hendak mengkonsolidasikan kelompok
sektoral dan politik untuk menolak Otsus justru dicurigai dan dianggap
bertentangan dengan ULMWP.
Padahal cikal bakal lahirnya PRP itu, tujuannya sudah
dikomunikasikan dengan BW dan OM selaku Eksekutif dan disetujui. Disini ada
kelompok tidak paham dan atau kelompok binaan yang digunakan untuk mengacaukan
konsolidasian persatuan dalam ULMWP.
Pikiran pejuang dan rakyat pejuang disibukan tentang siapa
yang harus memimpin perjuangan, tetapi tidak didorong untuk berpikir bahwa
siapapun pemimpinnya harus didukung oleh konsolidasi semua (Sipil, militer,
diplomat).
Karena menunjuk pemimpin itu gampang tapi kekuatan untuk
mengawal itu susah. Disinilah kekeliruan berpikir yang diproduksi dan
dipaksakan bahwa Papua Merdeka ditentukan oleh faktor 1 orang Pemimpin.
Dalam situasi inilah, HDC fasilitasi Komnas HAM, Dewan
Gereja Papua, dan ULMWP untuk tanda tangan penjajakan negosiasi di Geneva
dimana proses ini juga dikandaskan Jakarta karena jakarta takut dan sudah
memiliki design penyelesaian Papua yaitu represi kebijakan dan hukum melalui
operasi BIN, TNI/Polri di semua lini dan sektor.
Artinya, gerakan Papua bicara dan baku siku soal perundingan/dialog dan
baku rebut jabatan di ULMWP.
Sementara Jakarta sibuk taklukan dan duduki tanah Papua
dengan segala infrastruktur dan suprastrukturnya.
Jakarta saja anggap dialog/perundingan dengan separatis
tidak penting setelah jakarta memantapkan pendudukan di Papua dan
keberhasilannya menundukan negara-negara Pasifik/Melanesia untuk menarik
dukungannya atas kemerdekaan Papua.
Jadi kalau kita amati, ada kekeliruan dan kesesatan berpikir
dalam diri pejuang Papua yang menganggap Papua Merdeka bisa terjadi tanpa
perundingan, atau perundingan akan terjadi tanpa harga tawar perjuangan.
Padahal semua sejarah perjuangan kemerdekaan pada akhirnya
atau dalam prosesnya melalui selalu melalui pertandingan-pertandingan atau
negosiasi yang berulang-ulang sebagai tempat adu strategi dan kekuatan.
Perundingan dialog atau negoisasi bukan satu dua kali tetapi
berulang kali bisa dilakukan.
Misalkan, Bougenville, Sahara Barat, Kanaky,
Israel-Palestina, Sudan Selatan Kosovo dan kasus lainnya di dunia.
Apa yang terjadi itu pelajarannya adalah ada kegagalan
perundingan, ada keberhasilan perundingan yang keduanya tidak sejalan dengan
realitas siapa kuasai dan dikuasai dengan kekuatan di Lapangan.
PNG saja masih tahan Bougenville dengan segala alasan
misalnya. Begitu juga mimpi kita bawa masalah kita dalam mekanisme
internasional tidak akan semulus itu bila lihat fakta Rusia-AS yang injak-
injak Hukum Internasional dalam dalam Ukraina dan Palestina.
Jadi kalau kita belum apa-apa, jangan terlalu sombong diri
dan taputar dalam perdebatan yang tidak penting.
Dunia ini su tidak berpihak kita, yang dianggap saudara MSG
sudah menjual dan menyangkal kita, bahkan diatas tanah jajahan ini saja
besok-besok bangsa kita sendiri akan salibkan para pejuang kemerdekaan karena
dianggap penghambat pembangunan.
Coba gampangkan hal-hal sulit agar perjuangan bisa melangka
maju ke hal-hal yang substansial dan lebih tinggi. Bicarakan gagasan-gagasannya
strategi secara kepala dingin dengan satukan semua kekuatan.
Bersihkan hati, dinginkan otak, besarkan nurani dan duduk
bicara. Majukan dan bangun kapasitas perjuangan baik, agar siapapun yang
memimpin bisa maju dengan kekuatan.
Berdiri bersama, bergerak bersama, kenjerang Musuh bersama,
kita hanya satu sejarah penindasan dan satu tujuan Pembebasan Nasional.
Ones Suhuniap
Jubir KNPB.
Photo: Ones Suhuniap, Jubir Komite Nasional Papua Barat (KNPB)