61Th New York Agreement Ilegal dan 5 Tahun Rasisme Indonesia Terhadap Bangsa West Papua.

 Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimao, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, NayaklakWaa…waa…waa…waa…waa…waa..waa..waa..waa..waaa!

 Penjajahan dan Rasisme.

 Tindakan, Ujaran rasismes terhadap Orang Papua telah berlansung selama 61 tahun, dimulai dengan perebutan wilayah Papua oleh Belanda, Amerika, dan Indonesia dimana orang papua dijadikan sebagai objek atas wilayahnya. Otoriterisme Indonesia atas Papua dimulai dengan operasi militer, demi mengamankan investasi di papua tanpa menghargai hak politik Orang Papua sebagai bangsa merdeka sebagaimana deklarasi 1 Desember 1961, fakta sejarah secara konstitusional yang dimenangkan oleh rakyat Papua Barat sendiri.  Kemenangan rakyat Papua disabotase oleh pemerintah Indonesia melalui Tri Komando Rakyat [TRIKORA]  pada 19 Desember 1961. 

 Tindakan rasialisme diperaktekan dalam perundingan-perundingan penting yang membahas nasip orang Papua oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia serta PBB tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat sendiri.

Salah satu perjanjiannya adalah penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang telah Merdeka.  Selain Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

 Setelah aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun namun praktek pemerintah Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat. Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat pada tahun 7 April 1967 dua tahun sebelum PEPERA 1969. Selain pepera yang tidak demokratis dari jumlah penduduk orang West Papua 809.337 memiliki hak suara, hanya diwakili 1025  dengan cara musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus “Satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional. 

 Puncak Penentang orang Papua terhadap ucapan rasisme pada Agustus  2019 di Surabaya bagian dari pada awal rentetan peristiwa yang terendam  sejak 61 tahun, Rakyat Papua mengalami stereotipe atau Papua fobia,  dimana harkat dan martabatnya tidak pernah dihargai oleh elit-elit intelektual  di Indonesia. Penentang yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat menjamurnya rasialisme  dan Papua fobia terhadap orang Papua dan kulit hitam sesungguhnya bukan  hal baru di Indonesia. Tindakan itu sudah dilakukan sejak pascaintegrasi  politik Indonesia 1960-an kemudian 1980-an sampai hari ini dan terus  berlangsung. 

 Sejak penjajah Kolonialisme Belanda terhadap Indonesia, rakyat pribumi  Jawa dianggap inlader, yang artinya bodoh, udik, dengan derajat yang  rendah. Mereka memang tak membasmi orang-orang pribumi yang mereka  sebut inlander atau menganggap rendah  orang Indonesia. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1945, perbedaan,  atara ras, atau etnis tidak hilang begitu saja, stereotipe dialami oleh etnis Tiongkok  pasca kudeta Sukarno sejak tahun 1965, hal yang sama masih mempraktekan rasialisme penjajahan terhadap bangsa Papua dimana orang-orangya disamakan dengan sebutan monyet, tikus, sampah, teroris,  dengan pratek operasi militer, membunuh rakyat sipil, menjarah SDA  mengunakan kekuatan alat negara (senjatah). Tindakan dan ucapan rasis yang keluar dari intelektual Indonesia terhadap  orang Papua sebagai berikut: 

Bahwa pada Tahun 1969 Ali Murtopo, (Komandan OPSUS) Menyatakan  Jakarta sama sekali tidak tertarik dengan orang Papua tetapi Jakarta  hanya tertarik dengan Wilayah Irian Barat (West Papua). Jika inginkan  Kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah agar diberikan tempat  di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati orang-orang  Amerika untuk mencarikan tempat di bulan. ‟ 

Setelah 47 tahun, pada 2016 ini dari bangsa yang sama, Jenderal Luhut  Pandjaitan menghina orang asli Papua. “ Orang Papua yang mau merdeka  pindah saja di Pasifik tidak usa tinggal di indonesia”

Pengepungan oleh aparat dan ormas Reaksioner terhadap  asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada  tanggal 14 dan 15 Juli 2016 yang lalu  bukanlah yang pertama kali. Sebelum 31 Mei 2016 pengepungan dari Brimob,  mengunakan 9 truk Dalmas, 5 mobil patroli, dan puluhan motor berjejer. Para  aparat membawa senjata amunisi lengkap. Dalam peristiwa tanggal 14  tersebut mengakibat korban Obi Kogoya menginjak kepala oleh aparat. 

Bahwa Menko Polhukam Mahfud MD Menyebut Data Tapol Papua Sampah. Dokumen Tersebut Berisi 57 tahanan politik dan 243 warga Papua yang  tewas diduga akibat operasi militer sejak 2018. Sebanyak 57 orang  Tahanan Politik Papua dalam hubungan dengan perlawanan rasisme  sepanjang Agustus-October 2019 tersebar dibeberapa daerah sebagai  berikut: 6 orang di Jakarta, 4 orang di Manokwari, 1 orang di Jayapura, 7  orang di Balikpapan, 1 orang di Timika, 23 orang di Fakfak dan 15 orang di  Sorong. Ungkapan Mahfud MD tersebut menyakita hati Orang Papua.

Bahwa Pada Kamis 15 Agustus 2019 Pernyataan Wakil Walikota Malang Sofyan  Edi Jarwoko mengancam bakal memulangkan mahasiswa asal Papua ke  daerah asalnya. Ungkapan ini diutarakan Sofyan setelah demo Aliansi  Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia for West Papua di Malang. 

Bahwa kasus rasisme yang ditujukan pada mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, telah menyeret Ambroncius Nababan sebagai tersangka kasus rasial pada Selasa (26/1/2021). Menyamakan foto dengan gambar gorilla.

Pada tanggal 16-17 Agustus 2019 adanya  ujaran rasial Monyet, Asu, dan Usir Papua, oleh Aparat TNI, Satpol PP, dan  Ormas Reaksioner, terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya. 

Kata rasis yang dilontarkan Kapolres Malang Kombes Pol Leonardus Harapantua Simarmata Permata, “ Tembak Darah Mereka Halal ’ Terhadap Mahasiswa Papua tergabung dalam aliansi Gerakan Solidaritas Perempuan Bersama Rakyat atau Gempur menggelar aksi di Malang, 2021. Sembari menunggu kawan-kawan ditahanan, dibebaskan.

Polda Papua Melalui Satgas Menangkawi Menangkap Viktor Yeimo Sebagai Jubir Internasional KNPB ditersangkakn dengan pasal Makar dan sedang dalam proses Hukum.

Rasisme Aparat TNI AU dimerauke terhadap steven merupakan seorang bisu diinjak kepalanya di trotoar pada 26 July 2021

Pada tahun 2022 Ibu megawati dalam pidatonya menyamakan wempi wetipo  dengan “ Kopi Susu” 

Pada 2020-2022 Kebijakan Klonialisme melalui otsus dan DOB oleh Pemerintahan Jokowi tanpa mendengarkan Aspirasi Orang Papua sebagai subjek namun orang Papua dijadikan objek atas setiap kebijakan di west Papua.

Pemperingati hari masyarakat adat internasional 9 Agustus 2023. dari Aliansi Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua memasukan surat pemberitahuan Aksi kepolisian resort kota Sorong, surat penolakan  STTP yang ditantanggi AKP. Julfian F Sihombing, S.sos Berisikan Kalimat Aliansi Selamatkan Tanah Adat dan MANUSIA PURBA.

 Ungkapa rasialisme diatas merupakan wujud dari pada wajak Klonialisme Indonesia di Papua dengan peraktek operasi militer yang mengakibatkan 60.000 penguisan ( Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Yapen  dan Maybrat Peristiwa kekerasan dan pembungkaman, pengusian dalam laporan “Dong Penjarakan Tong Pu Sura dan Pikiran ”. mencatat berbagai peristiwa kekerasan, penangkapan sewenang-wenang; pembunuhan, penembakan di luar hukum; melabelkan pasal-pasal makar pada aksi protes damai; penganiayaan anak dibawa umur; kriminalisasi aktivis papua, dan sebagainya. Secara umum pada tahun 2022, Pusaka menemukan ada 46 Peristiwa yang mengakibatkan 348 korban dan melibatkan pelaku dari institusi TNI/Polri di Papua. 31 orang korban Prempuan 313 orang korban laki-laki, 22 korban anak dibawa umur, 26 orang meninggal akibat pembunuhan diluar hukum. 

Selama bulan Januari -july 2023 dari 40 Peristiwa kekerasan, pembunuhan diluar hukum di Papua 300 orang menjadi korban, 10 korban anak dibawa umur  diantaranya 5 orang meningal, 5 luka tembak. 8  orang korban Perempuan diantaranya 5 orang meninggal, 3 orang luka tembak. 88 korban laki-laki 12 orang korban meninggal, 76 orang korban luka tembak. Sisanya penangkapan saat aksi 114 ditangkap, 107 korban laki-laki dan 7 orang korban perempuan. Penangkapan dan penyisiran 91 orang korban diantranya 68 korban laki-laki dan 14 orang korban prempuan, dan 9 orang korban anak dibawa umur. Proses hukum 42 orang diantaranya 40 laki-laki dan 3 orang korban perempuan. Penganiayaan berujung meninggal 3 orang laki-laki. Korban non Papua 6 orang laki-laki 5 orang korban dan 1 orang perempuan. Wartawan 1 orang, penganiayaan (upaya pembunuhan) luka-luka 31 orang korban diantaranya, 18 orang korban laki-laki dan 13 orang korban perempuan.

Dokumentasi korban diatas terjadi pasca pengesahan otsus dan pemekaran DOB di Papua  selain konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPNPB telah mengakibatkan korban jiwa masyarakat sipil dan terjadi penduduk pengungsi.  Situasi konflik bersenjata belum surut dan terus memanas hingga saat ini. Operasi militer dan pengiriman aparat militer ke Tanah Papua semakin meningkat dan tanpa kejelasan hukum. Korban masyarakat sipil yang meninggal dan mengalami kekerasan terus terjadi, dan mengkhawatirkan depopulasi terhadap orang Papua terus meninggi. 

Secara peraktek dalam era modern rakyat Papua yang minoritas mengalami  genoside, dan rasis secara sistematis dengan pola yang berbeda, hal  tersebut menggambarkan dimana ada Kolonialisme disitulah muncul  ungkapan kata-kata rasis, terus muncul terhadap rakyat Papua barat.  Momentum Peringati 61 Tahun New York Angremeent Ilegal dan 5 tahun Rasisme Indonesia terhadap Bangsa Papua kami yang tergabung dalam  Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik kami kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika Serikat dan PBB untuk segera:

1.Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.

2.Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.

3.Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.

4.Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

5.PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

 6.Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.

7.Mengutuk Keras Kapolres kepolisian resort kota Sorong, surat penolakan  STTP yang ditantanggi AKP. Julfian F Sihombing, S.sos Berisikan Kalimat Aliansi Selamatkan Tanah Adat dan MANUSIA PURBA. 

8.Mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Masuk FULL Member di Melanesian Spearhead Group (MSG) dan

9.Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di West Papua.

 Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi, kerjasama dan solidaritas dari semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

Pernyataan Sikap.

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI).

    Medan juang . . . . . . 15 agustus 2023

 

 Photo: Ilustrasi Kehidupan Orang Papua di Tanahnya Sendiri.


 

 

Marapna

Marapna merupakan sebua media independen yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas dalam jangkauan unformasi, terutaman seputar tanah papua. sekian dari kami, terimakasih dan Tuhan berkati.

.

berikan kami komentar yang bersifat membangun

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama