Didik Generasi Muda Papua Menjadi Peluruh Ampuh.

Belajar dari film Beasts of No Nation:

DIDIK GENERASI MUDA PAPUA MENJADI PELURUH AMPUH DAN KRITIS

Oleh: Sehend Sama*

 International Film Festival sebelum akhirnya hak tayangnya dibeli oleh Netflix sebesar $12 juta dan dirilis streaming dalam skala internasional.

Bertebaran informasi jika film ini menampilBeasts of No Nation adalah film drama perang yang menjadi original film Netflix pertama dan dirilis pada 16 Oktober 2015. Berdasarkan novel karya Uzodinma Iweala yang terbit pada tahun 2005, sutradara sekaligus penulis naskah Cary Joji Fukunaga berusaha tetap setia dengan plot cerita dalam novelnya dan menerjemahkannya dengan kekuatan sinematografi yang indah sekaligus mencekam.

Pertama kali ditayangkan di Venice International Film Festival dimana Abraham Attah yang berperan sebagai Agu mendapat penghargaan Marcello Mastroiani Award, kemudian film ini juga ditayangkan di Toronto kan kekejaman perang secara eksplisit. Apakah benar? Simak review  dari film yang berlokasi syuting di Ghana ini.

Perang saudara pecah di sebuah negara di kawasan Afrika Barat. Seorang bocah bernama Agu hidup di wilayah netral antara daerah yang dikuasai oleh pemberontak dan daerah dibawah pemerintahan resmi, dimana wilayah ini dijaga oleh pasukan dari PBB dan ECOMOG (sebuah otoritas ekonomi di kawasan Afrika Barat).

Diberitakan bahwa pemerintahan berhasil digulingkan dan sekarang kekuasaan dipegang oleh pihak pemberontak. Seketika daerah itu ricuh dimana banyak warganya memilih mengungsi, bahkan ayah Agu sampai membayar mahal kepada pemilik mobil supaya mau membawa istri dan anak bungsunya keluar dari daerah itu. Sementara Agu, ayahnya dan kakaknya tetap tinggal disana.

Pasukan pemberontak dan militer pemerintah baku-tembak di daerah itu. Militer pemerintah berhasil memukul mundur para pemberontak dan mengumpulkan orang-orang yang mereka temui. Setelah mendapat penjelasan dari seorang wanita gila, seluruh orang termasuk ayah Agu ditembak mati, sementara Agu dan kakaknya, yang kemudian tewas di jalan, melarikan diri ke hutan.

Setelah beberapa hari di hutan dan memakan daun-daunan, Agu terjebak dalam pertempuran kecil. Ditangkap oleh pihak gerilyawan pemberontak bernama Native Defense Forces (NDF), Agu direkrut untuk dijadikan tentara. Kelompok pemberontak ini mayoritas terdiri dari kaum muda, bahkan beberapa diantaranya masih bocah seusia dengan Agu, salah satunya menjadi teman akrabnya, Strika.

Setelah melalui latihan yang keras dan berat, Agu dan tentara baru lainnya diberi mantra oleh dukun mereka dan mulai diajak turun ke medan tempur. Dalam penyergapan di jembatan, Sang Komandan meminta Agu untuk memenggal kepala tawanan mereka. Bersama Strika, dia menyelesaikan tugas itu dan kemudian diangkat menjadi penjaga utama Sang Komandan.

Serangan demi serangan mereka lakukan di daerah-daerah dimana kemenangan selalu berada di pihak mereka, memunculkan euphoria tentang masa depan bangsa yang cerah. Kedekatan Agu dengan Sang Komandan pun semakin erat, hingga di suatu malam Sang Komandan memperkosa Agu yang menghancurkan semangat dan merobek kemurnian hatinya.

Untuk menghilangkan ingatan akan kejadian itu, Agu melanjutkan pertempuran demi pertempuran dengan membabi-buta, bahkan dia sudah berani menembak mati seorang wanita di kepala dengan cara yang dingin. Dengan banyaknya kemenangan yang diraih oleh pasukan ini, membuat mereka diundang untuk bertemu pimpinan tertinggi mereka, Dada Goodblood.

Di pertemuan itu, Goodblood memindahkan pangkat komandan kepada Two-I-C dan memposisikan Sang Komandan sebagai staf di bawah komandan baru. Sang Komandan sebenarnya tidak terima karena penurunan pangkat ini dianggap telah menghinanya. Dia pun keluar dan mengajak pasukannya untuk berpesta di rumah bordil.

Saat masing-masing sibuk dengan urusannya disana, tiba-tiba Two-I-C tertembak oleh salah satu wanita disana secara tidak sengaja, tapi Two-I-C menuduh ini adalah rencana Sang Komandan. Agu kemudian mengejar wanita itu dan menembaknya, lalu mereka pergi meninggalkan kota.

Pasukan ini menjadi kejaran rekan dan juga musuh mereka. Serangan demi serangan mengurangi jumlah pasukan dan mereka harus bersembunyi di sebuah tambang emas selama berbulan-bulan dengan persediaan makanan dan peluru yang semakin menipis. Tidak betah dengan keadaan ini, Preacher mengajak rekan-rekannya untuk pergi meninggalkan Sang Komandan.

Dalam perjalanan menuju kota, mereka bertemu pasukan PBB dan menyerahkan diri. Anggota pasukan yang masih kecil dipisahkan dan ditempatkan di sekolah yang berlokasi di daerah yang aman dari perang. Agu mengucilkan diri dari murid lain, dan ketika ditanya oleh pihak konseling dia berujar bahwa dia merasa layaknya “monster” dengan pengalaman perang yang telah dijalaninya.

Nama Cary Joji Fukunaga sebagai sutradara, penulis naskah dan sinematografer, memang membawa aura tersendiri dalam film-film besutannya yang membuatnya menjadi salah satu sineas yang diperhitungkan di perfilman dunia meski baru menggarap tiga buah film saja, tapi semuanya memiliki kualitas di atas rata-rata dan memiliki ciri khas sinematografi selayak puisi.

Senada dengan film Beasts of No Nation ini, dimana Fukunaga menampilkan cerita yang dalam dan puitis, dibalut sinematografi yang indah sekaligus mencekam dan performa para pemerannya yang sangat baik. Layaknya proyek ambisius baginya, dimana dia bertindak sebagai sutradara, penulis naskah dan sinematografer, membuktikan kehandalannya dalam menerjemahkan esensi novel ke dalam film.

Secara penceritaan, naskah film dengan durasi 2 jam 17 menit ini memiliki pondasi cerita yang kokoh meski hanya ditampilkan sekilas saja di awal film yang dilanjutkan dengan kedalaman psikologis karakter Agu ditengah ambiguitas visi dari pimpinannya, Sang Komandan. Perlahan tapi pasti, kita dibawa hanyut dalam petualangan pedih dan brutal dari Agu.

Penceritaan yang baik ini kemudian dibalut dengan sinematografi yang mampu menangkap semua aspek penting yang membantu menciptakan nuansa perang psikologis juga perang secara fisik. Fukunaga tidak segan-segan menampilkan kebrutalan Agu dan rekan-rekannya saat menyerang, bahkan ada satu adegan yang diambil dengan teknik single continuous shot, selain permainan warna yang bernuansa puitis.

Elemen terbaik lain dari film ini ialah kekuatan akting para pemerannya, terutama Idris Elba dan Abraham Attah. Idris Elba yang berperan sebagai Sang Komandan tampil kharismatik sekaligus berhati busuk, simpatik sekaligus menyeramkan, lembut namun penuh kebencian. Rasanya memang hanya Elba saja yang bisa memerankan karakter sekomplek ini.

Bagi para tentaranya, sosok Sang Komandan seperti ayah, guru, pelatih, dan motivator bagi para bocah yang bertujuan ingin menciptakan para pejuang tangguh untuk memerdekakan negaranya. Tapi nyatanya, dia justru menciptakan para “monster” kecil yang tidak segan-segan membunuh, merampok, memperkosa dan menyiksa semua yang mereka anggap musuh.

Begitupun dengan karakter Agu yang awalnya tampak selalu ceria, lalu ketakutan saat pasukan pemerintah menuduh mereka sebagai pemberontak, hingga tampil trengginas sebagai tentara pemberontak yang tidak takut mati, yang kemudian diakhiri dengan pencarian akan kedamaian hati yang mulai ditemukannya saat berada di sekolah.

Abraham Attah membawakan karakter ini dengan sangat meyakinkan, hingga membuat kita terbawa dalam kisah perjalanan hidupnya yang keras dan pahit ini. Meski Agu tidak segan-segan membunuh dan patuh kepada Sang Komandan, di dalam hati kecil, kita tetap yakin bahwa Agu akan kembali menjadi anak yang baik. Dan semua terjawab sesuai harapan di akhir film.

Efek buruk perang

Peperangan tidak pernah membawa efek positif dalam sejarahnya, banyak kerusakan yang dibuat akibatnya, dan yang menjadi korban adalah rakyat. Seperti perang saudara yang diceritakan di dalam film ini, dimana ayah Agu yang merupakan penduduk setempat justru dituduh sebagai pemberontak hanya berdasarkan kesaksian orang gila.

Kerusakan psikologis Agu yang menjalani hidupnya sebagai tentara pemberontak di usia muda nyaris membuatnya tenggelam lebih dalam jika saja dia tidak berani untuk melangkah meninggalkan Sang Komandan yang sudah mulai terlihat tidak waras. Motivasi yang awalnya tinggi karena memiliki tujuan yang mulia, memerdekakan negaranya, menjadi buram cenderung kelam dengan rentetan kebrutalan.

Untung saja Agu masih memiliki pikiran yang sehat dan hati yang selalu terpaut dengan Tuhan yang membuat hati nuraninya menuntunnya untuk kembali berada di jalan yang benar.dari alur cerita ini banyak hal yang menjadi pembelajaran bagi orang papua dalam mengadapi tantangan dalam perjuangan terutama dalam hal mendidik generasi muda.jika kami renungkankan dan terapkan dalam konteks papua maka nyatanya banyak senior yang mengetahui tentang persoalan papua tetapi tak pernah mengarahkan dan menjadikan generasi sebagai senjata.sistem patron dan ego pun selalu diutamakan oleh kebanyakan ornng papua sehingga merambat kepada perjuangan untuk memperlambat pergerakan.

Sinopsis film di atas memberikan pandangan umum dalam memdidik pejuang muda,dimana agu adalah anak mudah yang punya semangat dalam mempejuangkan dan membebaskan rakyatnya dari perang saudara tersebut,dan semakin kokoh dalam perjuanganya dengan dorongan dan motivasi dari komandanya,tetapi suatu ketika agu diperlakun dengan tidak benar disiulah agu menjadi tidak semngat dan bukanya agu menjadi pejuang sejati namun sebaliknya agu menjadi monster yang berbahaya untuk menyerang balik komandanya.disini ada teguran keras untuk menjadi pembelajaran bagi mentor atau orang yang lebih dewasa dalam pendidkan maupun di perbagai bidang.karena tujuan mempersiapkan generasi adalah untuk merubah banggsa yang besar bukan mengikuti aturan atau kemauan senior.

***

Perjuangan yang berkelanjutan tidak perna terlepas dari istilah “rekrutment”. Seperti Che Guevara  terhadap anggota lainnya dalam mempersiapkan senjata untuk melawan penjajah. Demikian pula mereka melakukan regenerasi terhadap generasi selanjutnya untuk mempertahankan suatu ideologi yaitu memperjuangkan hak-hak rakyat demi menuju kebebasan sejati.

Untuk merekrut angota tak jarang mereka menjumpai tantangan dan aniaya bahkan dihina, dilabeli pemberontak. Artikel ini mengungkapkan tentang tantangan generasi yang harus kita ketahui bagaimana mereka berjuang dan mempertahankan ideologi dalam menghadapi kondisi berat untuk menjadi peluruh ampuh.

Senjata yang ampuh lahir dari proses yang panjang dan sulit, dengan penuh perjuangan. Adakah bangsa yang merdeka tanpa perjuangan dan pengorbanan? Kemudian apakah pahlawan lahir dengan begitu saja? Kisah para martir adalah bagian dari pelaku atas sejarah perjuangan yang harus diketahui oleh generasi muda hari ini untuk menjadikannya manfaat dari pelajaran tersebut. Di sisi lain agar menjadi contoh teladan bagi kita dalam menghadapi tantangan.

Pahlawan & Senjata yang dimaksud

Menurut definisi saat ini, seorang pahlawan adalah seorang yang mati karena menperjuangkan kebenaran. Sayangnya karena definisi ini kita kehilangan arti yang sesungguhnya. Mengenai dunia pahlawan, Santos Agustinus pernah berkata bahwa “... penyebablah, bukan penderitaan yang menjadikan seseorang menjadi pahlawan yang sejati.” Pahlawan berarti seseorang yang mengingat dan memiliki pengetahuan tentang perjuangan  dengan merenungkannya, serta yang dapat membagikan kesaksian tentang makna perjuangan tersebut.

Sementara senjata bagi orang Papua adalah alat untuk mempertahankan diri melindungi dan alat  berburuh yang ampuh,senjata juga sering digunakan dalam hal perperangan. Akan tetapi disini kami akan bahas “generasi sebagai senjata dari sisi perjuangan” generasi 90an-generasi 2022  terdapat banyak perbedaan dimana hal itu membuat generasi seolah-olah terikat dalam doktrin budaya dll.tetapi generasi 2020 sampai 2022 adalaha kita sebut “generasi situasional” generasi situasional ini lahir daripada kesadaran akan realitas yang mereka hadapi, seperti ketidakadilan, pembunuhan, perampasan, operasi militer, hal-hal ini membuat generasi ini sadar bahwa apa yang dilakukan penjajah atas tanahnya adalah hal yang salah dan harus di lawan maka jangan heran ketika banayak anak muda papua yang ketika lulus dari pendidikan SMA. Lalu meraih kelilusanya dengan mewarnai seragam putih abuh-abu menjadi bintang kejora. Hal ini boleh dianggap sebagai hal sepeleh tetapi sebenarnya mereka memperlihatkan isi hati.

Generasi situasonal ini sangat sulit bagi penjajah untuk mendoktrin,ada perbagai cara yang dilakukan negara untuk mengindonesiakan generasi muda papua seperti ADEM & ADIK ini yang telah siapkan oleh pemerintah tujuanya demi mengindonesiakan anak muda papua dengan kalimat yang meringankan biaya orang tua atau beasiswa,tetapi tujuan mereka tidak sesuai dengan ucapan.karena realiasnya adalah anak murid yang di kirim ke se-jawa bali ini, terutama diterima oleh TNI dan memberikan bekalan materi kenegaraan dan lainya untuk mendoktrik agar tertanam dalam benak mereka,akan tetapi generasi situasinal adalah generasi malas tau sehingga mereka bisa membedahkan mana yang harus mereka terima sebagai teori dan mana yang datang untuk mendoktrin.kareana sebelumnya di papua mereka tau siapa penjahat dan siapa pelayan jadi walaupun ada banyak orang yang datang dengan perbagai pendekatan untuk mendidik anak muda papua tetapi ilmu yang diberikan tak akan penah diterima oleh anak muda papua,kecuali orang yang memang benar-benar datang untuk melayani kerena panggilan hati.

Tujuan mempersiapkan senjata

Generasi muda papua adalah senajata, senta yang harus disiapkan dengan cara yang benar dan bermartabat. Dalam hal perjuangan membutuhkan kekuatan yang besar kekuatan yang sadar tentang dinamika yang dihadipi oleh rakyat.dan generasi  muda papua adalah senjata yang tepat untuk harus dididik dengan cara yang benar  karena "Tugas pertama seorang revolusioner adalah dididik. Che guevara" Maka kesadaran yang berpotensi ini harus dibangun dengan cara yang tepat. Salah satu cara adalah dengan membangun literasi di setiap kabupaten kota di Papua dengan ini generasi akan dipandang sebagai tolak ukur untuk merubah bangsa yang hari ini terikat dalam sistem kolonialisme ini. Seperti pepatah kata lama yang mengatakan bahwa “Buah jatuh tak jauh dari pohonya” maka dari itu harus didik generasi situasional ini oleh mentor yang telah lama merasakan situasi kolonialisme dan dinamika kehidupan yang telah diubah oleh sistem negara ini.karena generasi membutuhkan pengalaman,dan pengalaman dalam perjuangan itu harus terapkan kepada generasi papua untuk mempertahankan Tanah Air west papua dari cengkraman kolonial.

Kehidupan orang papua dan gerakan prodem di zaman ini dipukul mundur oleh sistem, dimana sistem itu menjadi power yang menguasa dan membungkam suara rakyat papua sehingga perbagai gerakan dilemah. Dan sebelum berbicara mengenai gerakan generasi muda papua kita akan belajar dari salah satu film sebagai contoh dampak positif dan negatif dalam memperjuangkan dan menggerakan generasi sebagai senjata ampuh.

Untuk mendidik Generasi harus hapuskan istilah senior.

Mengapa demikian,hal itu berdasarkan pengalam dan cerita yang sering disampaikan oleh generasi muda papua.dimana generasi yang seharusnya bisa mempunyai kebebasan dalam mengahdapi perjuangan tetapi kebebasan mereka dalam melihat dinamika sejarah kritis akan mentok dalam suasana psikologi “senior selalu benar.” Hal ini  yang juga menjadi penghambat dan mematikan ruang gerak generasi papua. maka untuk memajukan generasi agar menemuka jati diri mereka harus menerima dan menyesuaikan sesuai apa yang generasi papua memandang karene kita gagal mendidik rakyat.

Masalah yang cukup serius dan tidak henti-hentinya dibicarakan oleh berbagai kalangan adalah masalah generasi muda sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dengan berbagai konsekuensi yang menyertainya. Generasi yang siap atau tidak akan mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan, mulai dari kepemimpinan rumah tangga sampai kepemimpinan bangsa. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya upaya pembinaan yang dilaksanakan secara kontinyu, terprogram dan terarah, agar potensi yang mereka miliki dapat berkembang secara optimal menjadi kekuatan konkret. Generasi muda dengan kepribadian yang belum stabil, emosional, gemar meniru dan mencari-cari pengalaman baru, serta konflik jiwa yang dialaminya, merupakan sasaran utama orang, organisasi atau bangsa tertentu untuk mengaburkan nilai-nilai moral yang akan dijadikan pegangan dalam menata masa depan mereka.

Generasi muda papua memiliki peran yang besar bagi perubahan-perubahan sosial maupun politik di lingkungannya dan sering disebut sebagai agent of change (agen perubahan). Sebagai agen perubahan, dengan sikap kritis dan semangatnya, mereka memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menyadarkan masyarakat untuk melakukan suatu gerakan perubahan sosial missalnya dengan memperjuangkan aspirasi masyarakat dari ketidak sesuaian kebijakan pemerintah karena seringkali kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat.

Maka dari itu harus didik generasi muda papua dengan cara yang benar, supaya  Pemuda ini menjadi harapan bangsa yang menjadi generasi penerus perubahan negara di masa depan. Peran yang seharusnya dijalani oleh generasi muda papua, yaitu pemuda harus berjuang demi membebaskan bangsa, sebagai penerus bangsa, dan harus generasi   papua banyak belajar dan menyadari betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu kunci besarnya suatu negeri. Dengan bekal pendidikan, mereka berpotensi melahirkan karya-karya, inovasi, dan semangat juang demi memajukan bangsa. Sultam Syahrirl mengatakan bawha “Anak muda boleh pandai beretorika, tapi juga harus sadar untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita.”

Kesimpulan

Generasi muda sebagai generasi penerus dan harapan bangsa, membutuhkan pembinaan yang teguh, pembentukan akal yang sehat dan akhlak yang mulia, agar dapat menghadapi tantangan yang semakin berat dalam mengarungi kehidupan ini, terlepas dari kejumudan pola pikir dan keterbelakangan sebagian generasi tua dan generasi muda itu sendiri. Keberhasilan pembinaan generasi muda dipengaruhi dan ditentukan oleh adanya relevansi dan saling menunjang antara pembinaan di rumah/papua dengan pendidikan di sekolah serta nilai-nilai yang dianut dan dikembangkan dalam masyarakat. Para pendidik dalam arti yang luas harus menghindari terjadi kontradiksi antara norma-norma yang dikembangkan oleh guru di sekolah dengan nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat, sehingga peserta didik tidak mengalami kebingungan untuk memilih yang mana di antaranya yang benar atau harus diikuti.

Suatu bangsa yang besar akan bertahan karena ada pemuda yang menggerakkan perubahan dan melakukan kegiatan positif untuk kemajuan bangsanya. Jangan sampai pemuda malah terjebak dalam kegiatan yang tidak produktif yang justru akan menghancurkan masa depan bansanya.bangsa papua adalah bangsa yang besar maka membutuhkan peran generasi muda sebagai agen perubahan.oleh karene itu asah generasi siap tempur yang ada hari ini sebagai peluruh untuk membebaskan bangsanya dari perbudakan, penjajahan,perampasan,genosida dan bentuk pelanggaran HAM yang ada di papua.

 "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak." – Soekarno

 

“Papua bukan Tanah Kosong”

 Referensi :

·         Beast of No Nation diangkat dari sebuah novel karya Uzodinma Iweala dengan judul yang sama. Film berdurasi 2 jam 17 menit itu tayang perdana pada tahun 2015.

 Yayasan Kasih Dalam Perbuatan. Batu-Bati Tersembinyi Dalam Pondasi Kita. (2000)

   Website Kapan Lagi.Com.

 

Photo: film Beasts of No Nation.

 

 

 


Marapna

Marapna merupakan sebua media independen yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas dalam jangkauan unformasi, terutaman seputar tanah papua. sekian dari kami, terimakasih dan Tuhan berkati.

.

berikan kami komentar yang bersifat membangun

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama