"Kapitalisme Membunuh Pelan: Eksploitasi dan Penjajahan Gaya Baru di Papua"
Oleh: Niko
Sol
Pendahuluan:
Kemakmuran Siapa?
Papua adalah
tanah yang kaya, bukan hanya oleh sumber daya alamnya, tetapi juga oleh
martabat rakyatnya. Namun hari ini, rakyat Papua justru menjadi aktor yang
terpaksa membangun kejayaan dan kemakmuran bagi sistem kapitalisme, dalam
cengkeraman kolonialisme berkedok pembangunan.
Di balik narasi
pembangunan, terungkap realitas yang pahit: Papua bukan sedang dibangun untuk
rakyatnya, melainkan dijadikan lahan eksploitasi besar-besaran demi kepentingan
segelintir elit dan korporasi global.
Penjajahan
terhadap Papua bukanlah cerita lama. Dimulai dari 1 Desember 1961 saat Papua
menyatakan kemerdekaan, lalu dilanjutkan dengan aneksasi sepihak oleh Indonesia
melalui Trikora, Perjanjian New York, hingga Pepera yang cacat hukum dan moral.
Bahkan sebelum Pepera, kontrak Freeport telah diteken pada 1967, menjadi bukti
bahwa yang diprioritaskan sejak awal adalah kekayaan alam, bukan kedaulatan
rakyat Papua.
Sejak itu,
Papua menjadi ladang kekuasaan, penindasan, dan kekerasan. Lebih dari 16
operasi militer besar terjadi sejak 1960-an hingga 1998. Di era Presiden Jokowi
hingga Presiden Prabowo saat ini, intensitas eksploitasi dan militerisasi
justru semakin meningkat.
Kapitalisme
tidak berdiri sendiri. Ia bersekutu dengan negara, membentuk kebijakan, hukum,
dan kekuatan militer demi menjamin kelangsungan eksploitasi. Negara, dalam
struktur kolaboratif ini, menjadi alat sistematis yang menopang kepentingan
kapital.
Perusahaan-perusahaan
besar menebang hutan, menggusur tanah adat, dan membuka tambang serta kebun
industri—dengan pengawalan militer. Dana Otonomi Khusus (Otsus), dua persen
dari APBN, justru banyak mengalir ke elit lokal dan militer untuk memperkuat
kontrol, bukan untuk membebaskan rakyat.
Penindasan tak
lagi hanya berbentuk fisik. Hari ini, kapitalisme menyerang kesadaran. Media
sosial, platform digital, aplikasi, dan hiburan menjadi senjata ampuh untuk
mengontrol cara pikir manusia. Melalui konten, algoritma, dan monetisasi,
masyarakat digiring untuk menjadi konsumen pasif, sibuk live streaming, membuat
konten, belanja online—namun lupa berpikir kritis tentang realitas sosial
mereka.
Di Papua,
seperti di seluruh dunia, banyak anak muda kini lebih mengenal TikTok dan Reels
daripada sejarah bangsanya sendiri. Fokus kolektif rakyat telah dialihkan dari
perjuangan dan pembebasan menuju aktivitas digital yang memupuk budaya
konsumtif dan apatis.
Kapitalisme
membuat kita menjadi pekerja yang tak sadar. Kita sumbangkan tenaga, waktu,
bahkan pikiran demi keuntungan segelintir elite. Dalam banyak kasus, aktivitas
kita di media sosial menghasilkan uang—bukan untuk kita—tetapi untuk para
pemilik platform dan korporasi.
Sementara itu,
realitas di Papua tetap gelap: perampasan tanah, PHK buruh, ketidakadilan
pendidikan dan kesehatan, transmigrasi besar-besaran yang menekan Orang Asli
Papua (OAP), dan sistem birokrasi yang mengabaikan rakyat.
Papua tidak
baik-baik saja. Kita sedang dijajah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga
secara budaya dan mental. Kapitalisme dan kolonialisme telah berkolaborasi
membentuk sistem yang mengepung kesadaran, mematikan semangat kritis, dan
menumpulkan perlawanan.
Antonio Gramsci
pernah berkata, kekuasaan tidak hanya dibangun dengan senjata, tetapi juga
dengan menciptakan budaya dan ideologi yang melegitimasi dominasi. Inilah yang
sedang terjadi.
Tulisan ini
bukan sekadar kritik. Ini adalah ajakan untuk kembali sadar. Untuk bertanya:
Siapa yang kita layani hari ini? Siapa yang mendapatkan kemakmuran dari kerja
dan waktu kita? Apakah kita sedang memperkuat penindasan terhadap diri kita
sendiri?
Kita—terutama
generasi muda Papua—harus membangun kembali kesadaran kolektif, berpikir
kritis, dan tidak membiarkan diri kita dibentuk oleh sistem yang menindas.