"Di Tanah Kita, Tobias Tertidur"
Tobias Silak, saudaraku, darah dari darahku,
kau terbaring di tanah yang kita sebut rumah,
di tengah hutan dan lembah,
di mana peluru menyalak lebih cepat dari doa.
Kau bukan pemberontak,
kau bukan ancaman.
Kau hanyalah jiwa yang berjalan di tanahnya sendiri,
hingga derap sepatu bot merampas pagi.
Yahukimo menangis saat tubuhmu jatuh,
angin membawa kabar pada pucuk-pucuk pinang:
"Anak dari tanah ini telah dibungkam,
oleh tangan kekuasaan yang takut pada kebenaran."
Tobias, namamu kini adalah nyala,
di dada kami yang tidak akan lupa.
Kau dibunuh bukan karena salah,
tapi karena keberadaanmu dianggap salah oleh mereka yang tak mengerti tanah ini
berbicara lewat nadi kita.
Kami akan simpan ceritamu,
bukan dalam bisik, tapi dalam nyaring suara,
di setiap batu, di setiap luka,
hingga dunia tahu:
di Yahukimo, seorang anak Papua dibunuh…
dan kami tidak diam.
"Saudaraku yang Direnggut Senyap"
Di balik malam yang tak lagi bersuara,
namamu terpatri dalam luka yang terbuka.
Darahmu mengalir di tanah yang beku,
sementara langit menangis bersamaku.
Kita dulu tertawa di bawah mentari,
berlari di jalan kenangan yang tak pernah mati.
Namun kini kau pergi—bukan karena takdir biasa,
melainkan tangan kejam yang mencabut nyawa.
Siapa bisa menjawab mengapa?
Mengapa kebaikan harus dibalas dusta?
Tubuhmu dingin dalam peluk bumi,
namun jiwamu hangat tetap di sini.
Aku bersumpah, saudaraku tercinta,
namamu tak akan lenyap dari cerita.
Doaku jadi pelita dalam malam gelap,
menuntunmu damai di alam yang sunyi dan lelap.
"Kapan?"
Kapan kalian buka suara,
tentang peluru yang mencabut nyawa?
Tentang Tobias Silak yang gugur di tanahnya sendiri,
sementara pelakunya masih bersandar di balik senyap institusi?
Kapan kalian sebut nama pelaku?
Bukan sekadar “oknum” yang disembunyikan rapi,
di balik meja-meja dingin dan berita setengah mati.
Kami bosan menunggu keadilan yang datangnya seperti angin:
tak terlihat, tak terasa—hanya janji yang melayang di langit.
Kapan kalian adili?
Bukan hanya dalam konferensi pers atau kalimat manis yang cepat basi.
Tapi di meja hukum yang benar-benar jujur,
yang tak tunduk pada pangkat atau lambang seragam di dada.
Apakah nyawa Papua tidak cukup berharga?
Atau kalian sedang menakar darah dengan angka?
Kami bertanya bukan karena benci,
tapi karena kami tahu:
diam itu sama dengan ikut membunuh sekali lagi.
Jadi kami ulangi:
Kapan?
Kapan nama itu disebut?
Kapan peluru itu diadili?
Kapan negara ini berpihak pada yang benar, bukan yang berkuasa?
"Untuk Tuan Penguasa yang Duduk di
Singgasana Diam"
Wahai tuan yang duduk di kursi empuk kekuasaan,
di sekelilingmu rakyat mengaduh—kau malah berpaling,
telingamu dipenuhi bisikan emas dan janji setan,
sementara kebenaran kau bungkam dengan dinding-dinding dingin.
Kau melihat anak bangsa ditikam dalam senyap,
tapi matamu sibuk menghitung laba dan jabatan.
Mulutmu penuh kata manis dalam siaran pers,
namun hatimu kering, tak lagi kenal rasa perih rakyat jelata.
Apa artinya kuasa, jika tak bisa melindungi?
Apa artinya hukum, jika hanya tajam ke bawah dan tumpul ke langit tinggi?
Keadilan di negerimu jadi lelucon pahit,
di mana pelaku berseragam, dan korban diberi kafan sunyi.
Tuan, sejarah mencatat segalanya.
Tangan-tangan yang pura-pura bersih
akan dikenang sebagai tangan pembiaran—
yang membiarkan luka menganga dan darah menetes di tanah sendiri.
Tidakkah kau takut pada malam,
saat bisik-bisik arwah menagih jawaban?
Atau hatimu telah ditukar
dengan kekuasaan yang fana dan sementara?