Jejak Cinta di Antara Perpisahan
*Janji di
Antara Waktu*
Oleh, Vitto.
Vitto tidak
pernah merasakan cinta sejak SMP hingga SMA. Bukan karena tidak ada yang
tertarik padanya, tetapi karena hatinya belum siap. Ia memegang teguh
prinsipnya—bahwa cinta bukan sekadar permainan. Jika suatu saat ia mencintai
seseorang, itu harus dari hatinya yang paling dalam.
Setelah lulus
SMA pada tahun 2023, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: kuliah. Namun,
keadaan tidak semudah yang ia bayangkan. Orang tuanya, seorang penginjil yang
bertugas di pedalaman, tidak selalu bisa dihubungi. Masalah biaya kuliah pun
menjadi beban berat baginya. Teman-teman seangkatannya sudah mulai kuliah,
sementara ia masih bergulat dengan ketidakpastian. Stres dan sakit menjadi
sahabat barunya, tetapi ia tidak pernah berhenti berdoa.
Doanya akhirnya
dijawab. Jalan terbuka, dan ia merantau ke Pulau Jawa. Dengan semangat baru, ia
memilih jurusan keperawatan di Jakarta. Segalanya tampak baik-baik saja, sampai
suatu hari pihak kampus kembali meminta pembayaran yang sudah ia lunasi sebelumnya.
Ketidakadilan ini membuatnya berpikir untuk kembali ke Papua.
*Sebuah Pesan
yang Mengubah Segalanya*
Hari itu, saat
ia berusaha membeli tiket kapal untuk pulang ke Papua, sebuah pesan masuk
melalui Facebook. Seorang perempuan menanyakan apakah ia benar-benar akan
pulang. Vitto menjawab dengan jujur, lalu menceritakan semua masalah yang ia
hadapi. Percakapan itu menjadi awal dari sesuatu yang baru dalam
hidupnya.
Perempuan itu
memberikan motivasi, menenangkan pikirannya, bahkan mengajarkannya untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan. Perlahan, Vitto menyadari sesuatu—ia jatuh
cinta. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan bagaimana rasanya
menyayangi seseorang dengan sepenuh hati.
Hubungan mereka
berjalan lancar. Setiap hari dipenuhi dengan pesan-pesan penyemangat, nasihat,
dan doa. Perempuan itu tidak hanya menjadi tempat Vitto berbagi cerita, tetapi
juga membantunya melewati hari-hari sulit di kampus, terutama ketika ia
menghadapi diskriminasi dari teman-teman sekelasnya. Ia tidak pernah merasa
sendiri karena perempuan itu selalu ada untuknya.
*Luka yang
Tak Terlupakan*
Namun,
kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Tanpa alasan yang jelas, perempuan itu
tiba-tiba meminta Vitto untuk berhenti berkomunikasi dengannya. Vitto bingung.
Ia menelepon, mengirim pesan, bahkan menangis dalam keputusasaan. Hatinya
sakit, matanya bengkak karena terlalu sering menangis.
Setelah
berkali-kali meminta kesempatan, akhirnya hubungan mereka kembali seperti
semula. Vitto berpikir semuanya akan baik-baik saja, tetapi ternyata rasa
curiga dan pertengkaran semakin sering muncul. Ia belum cukup dewasa untuk
memahami cara mencintai dengan benar. Setiap kali ada masalah, mereka berdua
malah saling menyakiti.
Perempuan itu
tetap setia mendoakan dan membantu Vitto dalam berbagai hal. Tetapi semakin
lama, hubungan mereka terasa semakin rapuh. Hingga akhirnya, di tahun 2024,
sebuah masalah besar muncul. Perempuan itu memutuskan untuk pergi—kali ini
benar-benar pergi.
*Cinta yang
Tak Harus Memiliki*
Vitto tidak bisa
menerima kenyataan itu begitu saja. Ia menelepon perempuan itu, mencoba
membujuknya.
“Ini hanya ujian
dari Tuhan, bukan? Kita pasti bisa melewatinya bersama,” ucapnya dengan suara
bergetar.
Namun, jawaban
dari perempuan itu membuat hatinya remuk. Cinta bukan tentang memaksa seseorang
untuk tetap tinggal. Cinta adalah tentang saling mencintai, bukan tentang salah
satu pihak yang terus bertahan sementara yang lain memilih untuk pergi.
Hari-hari
setelah itu penuh dengan kesedihan. Vitto belajar bahwa cinta pertama bisa
sangat menyakitkan. Luka yang ditinggalkan perempuan itu tidak akan sembuh
dalam semalam. Namun, di balik semua itu, ada pelajaran berharga yang ia
dapatkan—bahwa cinta tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan, tetapi selalu
membawa makna.
Ia bersyukur
pernah mengenal perempuan itu, pernah mencintainya dengan sepenuh hati. Jika
Tuhan mengizinkan mereka bersatu kembali di masa depan, ia akan menerimanya
dengan bahagia. Jika tidak, ia tetap bersyukur, karena cinta sejati bukan
tentang memiliki, melainkan tentang menghargai dan mengenang dengan
ketulusan.