Selly: Anak Laki-Laki itu Alasan Saya Selalu Tersenyum (Bagin 1)
(Cerita By:
Jhe_G)
“Dengar! Bapak
mau bicara,” Suara serak itu bersumber dari ujung gawai.
Perempuan itu
masih duduk bersandar di kursi menghadap jendela yang tampak kosong. Gawainya
dipegang erat masih menempel di telinganya. Tangannya yang berkeringat itu
mulai bergementar sejak awal saat Ia menyampaikan kondisinya, saat ini. Duduk
mendengarkan tanpa suara adalah pilihannya, saat itu.
“Sekarang kamu
harus memilih: Mau lanjut kuliah atau pulang ke Wamena urus anak dan
adik-adikmu?” kalimat itu tentu mengacau. Terasa menggempur, sesak, seakan
kehidupan terhenti sejenak, meluluhlantakkan segalanya. Seakan menghadirkan
kebisingan, Dentuman-dentuman keras mulai terjadi di setiap kata.
Ledakan-ledakan itu sudah pecah dari setiap huruf yang menjadikan kata,
kalimat, ibarat ledakan yang berasal dari sel-sel bagaimana Hiroshima
dihancurkan oleh bom atom.
Air mata
penyesalan dan kesedihan tak bisa lagi dibendung. Apa lagi ketika mengingat Ibu
dan kata-kata terakhir dari Ayah saat perpisahaan di Bandar udara kota Wamena,
saat itu.
Namanya Selly,
berasal dari, kampung Bokondini, Kab. Tolikara. Tetapi sejak usia 4 tahun
mereka berpindah ke Wamena karena kondisi pekerjaan ayahnya. Kota yang berada
di pegunungan Tengah, Papua. Sesuatu yang ditakutkan dari sana, itu dinginnya
kota wamena. Seperti dinginnya hati para perempuan wamena, tetapi pekerja keras
seperti batu Marmer di pegunungan Jayawijaya. Namun tak ada alasan meragukan
perihal cinta dan kasih sayang dari mereka. Ia akan mencintai tanpa batas
seperti derasnya sungai Baliem yang mengalir tanpa henti dalam diam.
Selly
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas setelah lulus
Sekolah Dasar di SD Inpres Wesapu, Wamena pada 2006.
Mira, saudara
sepupunya, kuliah di kota yang sama. Ia bersama beberapa mahasiswa asal Wamena
mengontrak rumah di daerah Monjali, Sleman. Lantas Selly selalu sempatkan waktu
untuk pergi ke sana setiap akhir pekan dari Asrama Pelajar yang berlokasi di
Glagahsari.
Bahkan ketika
Selly tak pulang ke Papua di setiap liburan panjang.
Kontrakan itu
sering ramai dengan aktivitas nongkrong, cerita apa saja bahkan berdiskusi soal
Papua Merdeka oleh Mahasiswa Papua.
Mira aktif di
organisasi Mahasiswa. Lantas Selly sangat sering menguping pendiskusian para
mahasiswa di kontrakan tersebut. Bahkan Ia pernah diikutkan dalam suatu acara
diskusi film di Asrama Papua Kamasan I yang berlokasi di jl. Khusumanegara,
Sleman.
Tak terasa 5
tahun berlalu di Kota yang dikenal dengan serba murah-meriah ini. Saat ini
Selly sedang duduk di kelas sebelas Sekolah Menengah Atas, sekolah yang
dikelolah oleh Yayasan Katolik di Yogyakarta.
Tony, lelaki
Paniai peranakan Tolikara, selalu menarik perhatian Selly. Selain seniornya,
Tony adalah pria yang baik hati, rama, dan suka membantu adik-adik tanpa
membedakan siapapun tanpa apa pun alasan. Selain itu Tony juga Bintang di
lapangan basket.
Suatu waktu
Selly kesulitan mengerjakan tugas pythagoras matematika. Sore itu Selly
bolak-balik perpustakaan sekolah yang berada tidak jauh dari lapangan basket.
Selly keluar
dari perpustakaan dengan tumpukan buku. Kali ini Ia memilih duduk di pondok
dibawa pohon jambu. Tempat itu juga tongkrongan anak-anak basket usai Latihan.
Beberapa lama kemudian Ia merasa terganggu konsentrasinya dengan bunyi dribble
bola basket di lapangan. Sesekali lebih keras ketika bola memantul di papan
ring. “Ini suanggi siapa lagi. Ganggu orang kerja tugas saja.” Gumam Selly,
kesal.
Kekesalan itu
segera memudar ketika Selly tahu siapa yang sedang bermain bola di lapangan
yang tak jauh dari tempat Ia duduk.
Tony selalu
datang lebih awal untuk latihan basket. Tony lakukan beberapa kali lemparan ke
ring sebelum Ia lakukan pemanasan ringan. Lemparan yang berikut bola memantul
dari papan ring lalu terlempar ke arah tempat Selly duduk.
Selly sudah
melihat bola sedang menuju ke arahnya. Suasana hati mulai tak aruan. Pikiran
sudah berantakan saat bola berhenti di sampingnya. “Sa mati sudah,” batinnya,
terasa jantungnya berhenti saat Tony sudah mulai mendekat mengejar bola.
“Sore adik.
Permisi, kaka ambil bola.” Kata Tony mengambil bola.
“oh, mari
kakak, silahkan.” Singkat Selly, pandangannya jatuh pada buku, konsentrasinya
sudah kosong sejak tadi.
Tony berhenti
sebentar melihat tumpukan bukunya.
“Adik. Kerja
tugas kah?” Tanya Tony penasaran.
“Io, kakak.”
Begitu saja, senyum simpul Selly membikin Tony agak bingung menerjemahkannya.
Tetapi Selly masih menatap buku yang sudah Ia menuliskan rumus-rumus
phytagoras.
“Tugas apa,
adik?” Tanya Tony lagi mendekat, ingin memastikan apa yang sedang dikerjakan
Selly.
“Pythagoras
kakak. Agak bingung itu yang cek-cek rumus, terus coba kerjakan soal-soal ini,”
Selly menjelaskan sedikit runtut sambil pulpen di tangan berada di kepala,
menggesek di rambut keriting, entah apa yang bermasalah di balik rambut
berkepang dua itu.
“Coba adik,
kaka lihat…” Tony segera mengambil kertas soal dan mengamatinya.
Ia membimbing
Selly mengerjakan soal itu hingga selesai. Selly, pelajar baru di sekolah itu,
beruntung mempunyai kakak yang baik hati dan mau membimbingnya. Bukan
mengerjakannya soal-soalnya. Tony menyadari bahwa lebih baik membimbing,
daripada mengerjakan tugasnya.
Tetapi tidak
seperti itu bagi Selly. Pria yang Ia idolakan selama ini, tidak hanya
mengaguminya. Kali ini perasaannya jauh lebih daripada kata kagum dan Idola.
“Apakah langit
bisa mengizinkan sa untuk memilikinya? Tra mungkin. De tra level dengan sa. Sa
pu kelebihan apa yang bisa sa menarik de pu perhatian ke sa? Oh Tuhan, jauh
sekali. Tapi, ko pasti bisa. Selly, Tony itu ko punya. Milik ko.”
“Adik. Adik…
oi,” kata Tony sambil memukul pundaknya, setelah beberapa kali melambai tangan
di harapan wajahnya. Itu membikin Selly tersadar dari lamunannya. Lagi-lagi
Selly bertengkar dengan batinnya tentang ingin memiliki dan menyadari apa yang
bisa untuk itu.
“Sa tratau main
basket kaka. Volly boleh.” Sambut Selly, polos.
“Nanti Kaka
kasih tau cara mainnya.” Kata Tony sambil memegang tangannya mengajak Selly,
sedikit memaksa.
“Oke, kakak.
Tapi sabar dulu, sa kembalikan buku-buku ini dulu ke perpustakaan.” Balas Selly
mengiyakan ajakannya.
Selly segera
mengembalikan buku-buku ke perpustakaan, menyimpan tasnya, lalu bergabung
bersama Tony di lapangan.
Sejak hari ini
komunikasi mereka semakin dekat. Hari-hari berikut Tony selalu hadir di saat
Selly membutuhkan sesuatu. Selly kapan saja bisa menghubungi Tony bila
Selly membutuhkannya.
Walau belum
sepenuhnya, bagi Selly Ia sudah mendapatkan perhatiannya. Tapi tidak dengan
Tony. Ia sangat dingin soal perasaannya terhadap Sally. Bagi Tony, Selly adalah
seorang adik Perempuan yang memberikan perhatiannya sama kepada adik-adik lain
yang berasal dari Papua. Sisi lain Selly sangat ingin mengungkapkan rasa
cintanya kepada Tony. Tetapi posisinya sebagai adik, Yunior, membatasinya untuk
memulainya terlebih dahulu. Ia menunggu Tony mengungkapkan hal itu.
Selly selalu
menciptakan situasi untuk hal itu terjadi. Tetapi tidak pernah. Sikap dingin
dan baik hati dari Tony selalu menyiksanya.
Suatu waktu, di
asrama, Selly tak bisa tidur. Entah apa penyebabnya, Selly juga tidak tahu
pasti apa penyebabnya. Tetapi perasaannya sangat gelisa, terasa sesuatu yang
belum selesai, selalu membebani pikirannya. Hingga mengganggu waktu tidur di
malam hari.
“Sell, jam
segini belum juga kau tidur?” Tanya Susan, siswa asal NTT itu juga team basket
putri di sekolah itu. Ia termasuk pemain terbaik di tim basket dari sekolahnya.
Susan baru saja
keluar dari kamar mandi. Selain Tony, Susan adalah sosok kakak yang balik,
pendengar setia bagi adik-adiknya di asrama. Selly sangat nyaman cerita apapun
ke Susan.
Jam sudah
menunjukan pukul 2 malam waktu Jogja.
“Belum Kaka.
Tidak bisa tidur.” Jawab Selly begitu saja.
“Kenapa bisa?”
Tanya Susan, penasaran.
“Tidak tahu.
Saya juga bingung.” Kata Selly, menunjukan sikap kebingungan.
Sebenarnya
Selly menyadari rasa cintanya kepada Tony yang tidak pernah terutarakan, itu
penyebab penyiksaan terhadap kesulitan tidur malam. Tetapi kali ini Ia
beranikan diri untuk menceritakan kepada Susan tentang semua yang Ia pendam
secara kronologis.
“Oh, Saya pikir
selama ini kalian pacaran. Ternyata begitu!” Singkat Susan.
Selly diam saja
setelah cerita Panjang lebar seakan menunggu petunjuk dari Susan.
“Yaa sudah.
Sekarang sudah larut malam. Kamu harus tidur yaa, dik? Nanti juga akan ada
jalan.” Singkat Susan pergi ke tempat tidurnya.
Malam yang
Panjang itu terasa penuh penyiksaan batinnya bagi Selly. Tentu banyak siswa
laki-laki yang meminta berpacaran dengan Selly, hati, perasaan, semuanya sudah
tekad untuk Tony. Ia menyimpan rasa itu secara rapi dalam relung hati yang
paling dalam.
Konsekuensinya,
esok pagi Ia harus berangkat ke sekolah dengan kondisi ngantuk.
Dua minggu
telah berlalu. Pertandingan basket antar SMA se kota Kab. Sleman, Yogyakarta
akan dimulai 3 hari lagi.
Selama dua
minggu itu Tony sibuk berlatih. Jarang bertemu Selly, juga adik-adiknya yang
lain. Hal itu membuat Selly tak bersemangat lagi pergi ke Sekolah.
Pengumuman
pertandingan sudah diumumkan oleh pihak panitia penyelenggara. Tanggal 12
sampai 14 Mei akan bertanding di Gor Univ. Negeri Yogyakarta yang berlokasi di
Klebengan.
SMA Santa Maria
Yogyakarta selalu memenangkan pertandingan demi pertandingan. Tentu Tony
menjadi Bintang di lapangan hingga tiba final.
Pukul 6 sore
pertandingan final akan berlangsung melawan SMK Negeri 2 Yogyakarta.
Selly sudah
berada di bangku penonton. Sampingnya ada Susan, Kakak Seniornya yang selalu
menjadi tempat curhat Selly.
Pertandingan
telah dimulai. Tentu kekuatan dan kualitas kedua tim itu sangat berimbang. Dua
sekolah itu selalu menjadi juara lomba di setiap tahun. Tak ada yang tertinggal
poin. Selalu saling mengejar di setiap Quarter.
Para suporter
masing-masing tim juga tidak kala semangat memberikan dukungan kepada tim
kesayangan mereka. Keseruan itu berubah menjadi dek-dek an di babak ke dua,
quarter terakhir. Waktu tinggal 1 menit terakhir.
Saat detik
terakhir itu SMK Negeri 2 memimpin pertandingan. Poin 148 bagi SMK N 2. Lebih
dua poin dari SMA Santa Maria. Pertandingan final kali ini Tony mengalami
kewalahan. Ia dijaga ketat. Tak diberikan ruang untuk mendapatkan bola, apalagi
berkesempatan melemparkan (shooting) bola ke ring.
Detik-detik
akhir bola di tangan SMA Santa Maria. Tony mengatur permainan. Saat Tony
mengeluarkan skil dribble bola di sisah energinya, salah satu pemain lawan yang
berposisi penyerang depan (playmaker) berusaha merebut bola dengan tangan dari
arah samping, lantas mengenai siku-siku tangan Tony dan wasit meniup peluit
bertanda terjadi pelanggaran fouling dan bola untuk SMA Santa Maria.
Disitu para
penonton mengambil nafas legah, berharap wasit memberikan lemparan bebas kepada
Tony. Tetapi tidak. Wasit justru menghitung pelanggaran tersebut menjadi satu.
Dua pelanggaran lawan lagi akan terjadi lemparan bebas. Sementara waktu sudah
mepet. Tersisah 9 detik terakhir.
Akhirnya bola
untuk SMA timnya Tony tetapi dibagi dari luar garis lapangan. Saat itu entah
apa yang dipikirkan Tony, Ia keluar lapangan, mengambil air mineral yang berada
di tempat duduk pemain cadangan (bench), dan meminumnya. Salah satu pemain dari
tim Tony segera mengambil bola dan siap membagi kepada pemain yang mendapatkan
ruang untuk menerima bola.
Tony segera
berlari ke ring arah penyerang, lalu memberikan kode untuk melempar bola ke
arahnya. Temannya segera menerima kode itu dan Tony menerima Bola tepat di
Tengah garis Tengah. Wasit sudah menghitung dari angka,
“enam, lima,
empat, tiga…”
Tony menerima
bola dan melakukan shooting dari Tengah garis, bola mulai terbang membentuk
parabola dan di saat wasti menghitung “duaaaaa, saa….” Dan bola tiba tepat
lubang ring, memperoleh tiga poin untuk SMA Santa Maria. Tiba-tiba kesunyian
itu pecah dengan gempuran teriakan yang bergelomang keluar, seakan detik-detik
bom atom membakar hangus kota Hirosima dengan gelombang dahsyat.
Teriakan
gembira itu menggema Gedung Gor UNY, bergelombang hingga di luar Gedung Gor.
Teriakan itu disambut oleh para penontong pendukung Team Tony yang sedang
menyaksikan pertandingan di layar lebar.
Dengan
memperoleh 3 poin itu, SMA Santa Maria memenangkan pertandingan dengan 1 poin.
Rasa gembira
penuh tangis pun pecah di sudut-sudut Gedung. Tony digendong kawan-kawannya
mengelilingi lapangan. Tentu Tony adalah pahlawan untuk piala bergilir kali
ini. Setelah 20 menit merayakan kemenagannya dengan cara mereka, Ia meminta
kawan-kawannya menurunkan dirinya dari Pundak mereka.
“Kawan-kawan,
saya meminta kalian semua membuat lingkaran.” Kawan-kawannya segera membentuk
lingkaran. Dengan penuh penghormatan Ia meminta Pelatih untuk bergabung berdiri
di barisan lingkaran tersebut.
Tony berdiri di
Tengah lapangan. Beberapa saat kemudian Tony berlutut, berdoa.
Disaat Ia tanda
salib, tanda doa telah selesai, saat itu juga tepuk tangan pujian menghujani
gor tersebut. Tiba-tiba seorang Perempuan memasuki lingkaran dan memberikan
setangkai bunga mawar.
Tony memegang
bunga mawar itu sambil berdiri dan pergi ke arah bangku penonton. Sejuta mata
menyaksikan kemana Tony akan pergi dan kepada siapa Bunga itu akan mendarat.
Langka kakinya
mengarah ke seorang Perempuan yang sejak tadi menyaksikan pertandingan tersebut
dalam sunyi di pojok kiri, paling atas.
Tony berlutut
di hadapannya dan berkata “Adik Selly, Ko mau kah jadi sa punya pacar?”
Tak ada kata.
Tak ada tingka apa pun. Seakan kehidupan berhenti sejenak. Wajahnya tampak
kosong. Perempuan itu menatap Bunga di hadapannya. Bunga mawar yang dipegang
oleh seorang pahlawan dalam kondisi berlutut.
Tak ada kata
yang terucap. Hanya tangis haru pecah seketika. Perempuan berambut keriting itu
layu di pelukan Tony. Tak perlu ada jawaban yang terucap. Sebab itu obatnya
atas penderitaan batin yang Ia alami selama ini.
Jauh daripada
itu, doa kecil yang terlintas dibenaknya saat itu, semoga Tony akan sama
seperti sosok ayah yang mencintainya sejak dulu secara tulus, hingga maut
memisahkan mereka.
Selly, kau
pemenangnya.
Tony tidak
hanya memberikan kejutan untuk SMA Santa Maria. Juga kepada Selly.
Susan muncul
dari belakang dan memberikan selamat kepada Selly.
“Selamat yaa,
adikku. Sekarang kamu sudah bisa tidur di malam hari. Hehehehe” ucap Susan
disusul kawan-kawannya yang lain.
Semua itu
direncanakan dan diurus oleh Susan. Kini pelukan berikut jatuh kepada Susan.
Selly benar-benar tak menyangka ini semua akan terjadi.
Pertandingan
ini berakhir dengan penuh Istimewa.
***
3 minggu
berlalu. Selly dan Tony resmi berpacaran. Mereka menjalani kehidupan sebagai
pelajar yang tinggal di asrama.
Suatu sore
Selly sibuk mengerjakan tugas kelompok bersama kawan-kawannya. Usai mengerjakan
tugas Selly membuka gawai untuk mengabari Tonny segera menjemputnya karena
waktu semakin gelap dan Ia segera pulang ke asrama.
Selly Menatap
Gaway agak lama. Sebanyak 11 kali panggilan tak terjawab tertampil di dinding
gawai. Ayahnya menelpon. Sesuatu yang tak biasa ayahnya lakukan.
Dengan perasaan
yang penuh khawatir Selly menelpon ayahnya.
“Hallo, anak,
apa kabar?” suara serak dari ujung telepon.
Baik bapak.
Bagaimana bapak telepon banyak kali itu!”
“Anak, Mama
sudah pergi. Mama sudah tidak sakit lagi. Sudah sembuh untuk selamanya.” Suara
serak di ujung telpon itu sontak membuat Selly terduduk diam.
Perasaan cinta,
kasih sayang, dan kehilangan tentu tak mampu membendung air matanya.
Menangis.
Menangis saja untuk mengungkapkan semua itu. Semua tentang kehidupan dan
kebersamaannya. Tentang keluarga dan ketakutannya. Tentang cinta yang berasal
dari relung yang paling dalam dan waktu tidak berpihak kepada Ibu dari Selly.
Walau manusia tak dapat menunda kematian, tetapi rasa kehilangan adalah
ungkapan kenyataan beribu kisa yang yang membekas, tentang air susu, dan kamu
harus menangis untuk itu. Mungkin itu cara mengungkapkannya kepada kehidupan
yang tak dapat kita kendali. Walau kelahiran dan kematian itu dua hal yang tak
bisa dipisahkan dari hukum sebab akibat, 9 bulan penderitaannya dan air susu
ibu tak bisa bisa dibayar dengan apa pun. Tangisan selly, lagi-lagi ungkapan
kepada langit kehidupan bahwa Ia baru saja melangkah keluar dari pangkuannya.
Belum memberikan yang terbaik untuk Ibunda. Apakah itu ketidakadilan kehidupan
kepada Selly?
Selly
memutuskan untuk pergi ke wamena dan berpamit kepada mending ibunya untuk yang
terakhir.
Bersambung…
(Bagian 2 akan segera hadir)
catatan:
Bila ada kesamaan Nama dan kesamaan cerita, mohon dimaklumi. Ini hanya coretan
dinding FB.