"Pembunuhan Pilot Glen dan Operasi Bela-Alama 1996"
Oleh; Victor Yeimo.
Pembunuhan
Pilot Helikopter Glen Malcolm Conning di Kampung Alama, Papua mengingatkan
kembali kisah tragis di kampung ini pada tahun 1996. Operasi pembebasan sandera
“Tim Lorentz 95” dipimpin Danjen Prabowo Subianto melakukan pembunuhan massal,
penghilangan, pengungsian dan pembakaran gereja dan rumah di Bella, Alama dan
Mapenduma.
Laporan
Jawa Pos 1997 menyebut saksi korban Sandera Daniel Start bersaksi bahwa Pasukan
Komando dari Inggris Special Air Service (SAS) dan Pasukan Keamanan Ternama
Executive Outcome (EO) ikut menyamar sebagai petugas International Red Cross
(Palang Merah Internasional) bersama Kopassus melakukan penyerangan dari
Helikopter di tiga kampung ini. Laporan Gereja menyebut 20 warga sipil
terbunuh, 5 orang hilang, 182 rumah penduduk dibakar termasuk 15 Gereja dan
2000 lebih penduduk mengungsi.
Kejahatan
tersebut meninggalkan trauma bagi anak-anak yang lahir besar menyaksikan orang
tuanya dibunuh, rumahnya dibakar di depan mata mereka. Memori penindasan itu
meninggalkan dendam, bukan saja bagi Egianus Kogeya, dkk yang adalah keluarga
TPNPB, tetapi banyak 2000an keluarga korban warga sipil. Pasalnya, penyerbuan
dengan Helikopter yang menyamar sebagai Palang Merah itu dilakukan saat TPNPB
Kelly Kwalik, Daniel Kogeya dan Silas Kogeya hendak menyerahkan Sandera secara
baik-baik di lapangan terbuka.
Pembunuhan
Pilot Helikopter Glenn kali ini juga terjadi setelah Panglima Kodap III TPNPB,
Gen. Egianus Kogeya menyatakan akan segera membebaskan Pilot Philip Mehrten.
Hingga hari ke-4, pihak TPNPB belum menyatakan bertanggung jawab dan justru
menuduh TNI mendalangi pembunuhan untuk menggagalkan pembebasan Sandera. Begitu
pula sebaliknya, TNI menuduh TPNPB pelakunya. Jika keduanya tidak, maka apakah
bisa diduga pelakunya adalah para korban yang trauma dari kebrutalan operasi
1996 di kampung Alama? Tentu perlu diinvestigasi.
Jika
dihitung untung rugi politik kedua pihak, pihak TPNPB paling dirugikan dan
tidak ada keuntungan politik dari penembakan ini. Maka, sangat tidak mungkin
TPNPB secara komando melakukan tindakan ini, karena buktinya Pilot Philip tidak
ditembak, tapi diamankan dan hendak dibebaskan TPNPB dari ancaman pembunuhan
TNI yang berulang kali menargetkan Pilot dengan penembakan bom di
persembunyiannya.
Pihak
TNI dan Negara sangat berkepentingan untuk memperkuat citra buruk pada TPNPB
OPM sebagai teroris di mata dunia. Hampir dua tahun operasi pembebasan sandera
gagal dilakukan Indonesia yang hendak mendulang dukungan dari Pasifik terutama
New Zealand. Pengumuman Pembebasan Sandera oleh Gen. Egianus Kogeya jika
terjadi akan menjatuhkan citra pasukan TNI dan negara yang punya kepentingan
menghancurkan citra perjuangan bangsa Papua di forum internasional seperti
Pacific Islands Forum (PIF) yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
Dapatkah
kita curigai penembakan ini bertujuan membunuh niat baik TPNPB dalam pembebasan
Pilot dan perjuangan bangsa Papua? Jika benar, maka bisa jadi ini merupakan
strategi yang dalam ilmu intelijen disebut “false flag” atau operasi bendera
palsu. Suatu strategi penyerangan atau tindakan keji yang dilakukan pada warga
sipil untuk mengarahkan tuduhan kepada pihak lawan sebagai pelakunya. Tujuannya
adalah untuk mendiskreditkan musuh, memicu respons publik atau militer terhadap
musuh, dan memperoleh keuntungan strategis atau politik.
Ada
juga istilah “proxy war”. Dalam skenario ini, suatu pihak tidak terlibat secara
langsung dalam aksi kekerasan tetapi menggunakan pihak ketiga, atau
"proxy", untuk melaksanakan tujuan mereka. Proxy war sering digunakan
untuk menghindari keterlibatan langsung, mengurangi risiko bagi pihak utama,
dan tetap menjaga deniability (penyangkalan yang masuk akal). Jika TPNPB tidak
tahu menahu pembunuhan ini, maka bisa saja TNI menggunakan tangan ketiga yakni
kelompok bayaran yang menyamar sebagai TPNPB. Tentu ini hanya dugaan, tetapi
dalam dunia intelijen operasi seperti ini sudah biasa diterapkan.
Terlepas
dari siapapun yang harus dibuktikan bersalah dalam segala konflik
berdarah-darah di West Papua, Kolonialisme dan Kapitalisme yakni Indonesia dan
Freeport ingin menjaga Papua tanah darah tanpa penyelesaian. Tanah Papua memang
ladang bisnis TNI/Polri dan para kapitalis elit birokrat di Jakarta. Keduanya
ingin konflik dijaga untuk bisnis.
Papua
saat ini tersisa 2.971.340 jiwa dari 5,4 juta penduduk Papua menurut data BPS
2022. Jumlah non Papua lebih besar dengan laju 6,39% pendatang baru per tahun
di 6 Provinsi Pemekaran. Dari kota ke kampung-kampung, migrasi pendatang dengan
kekuatan perusahaan dan militer mendominasi semua sektor produktif.
Sementara
hutan adat yang merupakan benteng terakhir bumi dari ancaman pemanasan global
terancam habis. Dari 34,3 juta hektar hutan primer di Tanah Papua, sudah
793.623 hektar habis sejak 2021-2022. Dalam kurun 2 bulan saja
(Januari-Februari 2024), Yayasan Pusaka menemukan 765 hektar hutan habis di
Papua. Menurut data Greenpeace, sekitar 12,9 jt hektar hutan Papua akan
dikonversi Perusahaan-perusahaan yang diijinkan Indonesia. Baru saja 23 Juli
2024, 2 juta hektar hutan di Merauke diresmikan Jokowi untuk diubah menjadi
lahan tebu. Artinya, masyarakat adat dipinggirkan, hutannya dihabisi demi nafsu
serakah para penjajah dan perampok di tanah Papua.
Jadi
apakah orang Papua mesti dinafikan dengan membentuk citra buruk terus menerus
pada perjuangan bangsanya. Saya kira seperti perjuangan bangsa Palestina di
bawah kuasa media imperialis, itu pula yang dihadapi bangsa Papua saat ini.
Benar kata Malcolm X “Media adalah entitas paling kuat di dunia. Mereka
memiliki kekuatan untuk membuat orang yang tidak bersalah menjadi bersalah dan
membuat orang yang bersalah menjadi tidak bersalah." Semua kebenaran
perjuangan bangsa Papua ditutupi dengan segala bentuk propaganda dan agitasi
penjajah.
Photo: Victor F Yeimo Juru Bicara Internasional Komite
Nasional Papua Barat.