Politika Devide Et Impera Indonesia Di Papua.

 Oleh. Amprisal.

Pengantar.

Politik "Devide et Impera" atau "Pecah Belah dan Kuasai" adalah sebuah strategi politik yang telah digunakan sepanjang sejarah oleh berbagai kekuatan politik dan penguasa untuk memelihara atau memperkuat kekuasaan mereka. Konsep mendasarkan diri pada prinsip memanfaatkan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk menciptakan ketegangan atau konflik yang membuat mereka saling bermusuhan, sehingga mengurangi kemungkinan kerja sama yang menantang penguasa atau kekuatan yang berkuasa.

Strategi ini dapat dieksploitasi dalam berbagai konteks, termasuk perbedaan suku, agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pihak yang menggunakan strategi ini cenderung memperkuat kelompok yang mendukung mereka, sambil menegaskan atau menekan kelompok yang berpotensi menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka.

Meskipun tampaknya efektif dalam jangka pendek untuk mempertahankan kekuasaan, politik "Devide et Impera" seringkali memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan, termasuk konflik internal yang memicu ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi. Selain itu, memisahkan dan membedakan kelompok-kelompok tertentu juga dapat menghambat pembangunan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Dalam konteks modern, politik "Devide et Impera" dapat dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari retorika yang memecah belah dalam kampanye politik hingga strategi geopolitik yang menggiring negara-negara lain untuk saling bertentangan. Pemahaman strategi ini dapat membantu masyarakat untuk lebih kritis dalam memahami dinamika politik dan upaya-upaya yang dilakukan untuk memelihara kekuasaan.

Penerapan Politik Devide et Impera di tanah Papua.

Politika Devide et Impera dalam konteks Indonesia adalah, misalnya kolonialisme Belanda dulu di Indonesia dan kolonialisme Indonesia di tanah Papua saat ini. Dalam konteks ini memang ada kesamaan dalam hal praktik namun terdapat perbedaan kebijakan politik yang diterapkan Indonesia di Papua.

Tulisan saya tentang politik Devide Et Impera Belanda di Indonesia ini saya tulis dengan situasi di Papua saat ini. Sehingga menarik untuk dikaji, diukirkan dan ditanamkan untuk diketahui oleh seluruh orang Papua. Tulisan ini penulis didorong dengan melihat dinamika pesta politik praktis di tanah Papua pada tahun 2024 saat ini, yang mana dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden serta legislatif di republik Indonesia. Sehingga, dalam hal ini penulis menyoroti bagaimana politik adu domba yang diciptakan oleh sistem untuk melahirkan permusuhan dan karena hal ini mengendalikan rakyat pribumi di atas tanahnya sendiri.

Jika Anda semua tahu tentang "Politik Devide Et Impera" Belanda di Indonesia, Anda akan memahami dinamika politik di Tanah Papua dan orientasi geopolitik secara saksama apa yang terjadi di tanah Papua.

Misalnya praktik yang dilakukan oleh tokoh agama, tokoh Agama dan Gereja di Papua hari ini turun langsung dalam Politik praktis untuk memperdayakan Manusia Papua atas kepentingan diri sendiri. Karena merasa tidak puas atas pekerjaanya sebagai hamba Tuhan di gereja.

Tapi sangat di sayangkan. Para tokoh-tokoh ini juga diperdayakan oleh Penguasa dengan uang, sehingga Papua dulu yang menjadi Tanah Injil, kini menjadi tanah politik praktis. Untuk memenuhi lumbung dengan uang atas nama Allah dengan menjadikan nama Allah sebagai alat untuk kebutuhan pribadi atau dengan kata lain “Gila hormat untuk dapat simpati”. Maka, penulis menekankan bahwa, jangan jadikan nama Allah sebagai alat politik praktis untuk kepentingan pribadi, karena tidak sesuai dengan peri Ke-Tuhanan di tanah Papua.

Ada beperapa hal yang menjadi senjata untama dalam praktik politik Devide et Impera Indonesia di tanah Papua. Misalnya dengan menjadikan Papua sebagai”,

1.       Papua bagaikan boneka bagi indonesia.

2.     Agama dan Gereja bagaikan Alat bagi para penguasa.

3.      Isu politik Papua Merdeka sebagai tempat perlindungan bagi penguasa yang menguasai Tanah Papua.

Strategi Politik Devide et Impera Belanda di Indonesia dan Indonesia di Papua.

Politik Devide et Impera, atau politik adu domba, merupakan strategi yang digunakan oleh penguasa untuk memelihara atau memperkuat kekuasaan mereka. Kemudian hal serupa digunakan juga oleh Belanda untuk menjajah Indonesia selama 350 tahun. Strategi ini bertujuan untuk memecah belah rakyat Indonesia dan mempertahankan perlawanan rakyat nusantara terhadap Belanda sebagai kolonia. Dan kini, dipraktikkan secara nyata oleh Indonesia di Tanah Papua.

Penerapan Politik Devide et Impera Indonesia di Tanah Papua, kami akan melihat dalam beberapa bagian penting agar dapat mempertimbangkan:

Yang pertama: Pada praktik Indonesia di Papua. Rakyat Papua dipisahkan berdasarkan wilayah, suku, etnis dan agama. Seperti yang dilakuakan Belanda terhadap Indonesia pada zamanya. Dengan membedakan rakyat Indonesia berdasarkan etnis dan agama, seperti pulau Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Muslim, Kristen, Hindu, dan Buddha. Taktik ini bertujuan untuk menciptakan perbedaan/ perpecahan sehingga memicu konflik horizontal antar wilayah, suku, etnis dan agama yang ada di nusantara. Kini praktik tersebut terjadi di Papua, dengan memekarkan 6 Provinsi memisahkan 7 tujuh wilayah adat diantaranya; Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago, Mee Pago, Domberai, dan Bomberai. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan suku dan gereja di tanah Papua, agar muncul perpecahan dan konflik horizontal di antar orang papua. Salah satu yang terbukti adalah dengan menciptakan stikma orang Papua pantai dan orang Papua gunung.

Mengadu Domba Pemimpin Lokal Dan Rakyat:  Belanda sering kali menghasut pemimpin lokal Indonesia untuk saling menghina dan menghina di antara mereka. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan mereka dan menghambat persatuan rakyat Indonesia dikala itu. Dan benar bahwa seluruh tanah Papua dipakai dengan pola yang serupa untuk menghancurkan orang Papua, dengan menghasut pemimpin lokal Papua untuk membeda-bedakan dan mendiskriminasikan dalam berpolitik dan agama. Dengan kepentingan sukuisme, keluargaisme dan label lainnya. Kemudian hal ini berdampak sangat besar terhadap orang papua. Dimana seharusnya orang Papua saling melindungu satu sama lain, dan berjuang atas nasib orang Papua untuk berdiri bersama-sama di atas tanah air mereka. Kemudian memimpin orang papua diatas bangsa sendiri/Tanah papua. Tetapi, justru orang Papua saling menghancurkan identitas mereka sebagai orang Papua.Dan saling adu-domba di atas tanahnya sendiri.

Memberikan Hak Istimewa Kepada Kelompok Tertentu: Belanda memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu, seperti priyayi dan Tionghoa, untuk mendapatkan keuntungan dan dukungan mereka. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kelas sosial baru yang loyal kepada Belanda dan memisahkan mereka dari rakyat biasa. Begitupula di tanah Papua. Indonesia menjadikan Papua sebagai “Daerah Otonomi Khusus” dan dikendalikan oleh pusat dengan memegang Ekor dan memberikan kepala kepada pemimpin Daerah untuk menghancurkan persatuan dan keharmonisan orang asli Papua dengan politik praktis.

Memberikan Hak Istimewa Kepada Kelompok Tertenti: seperti yang dilakukan Belanda memberikan hak Istimewa kepada kelompok tertentu seperti Priyayi dan Tionghoa untuk mendapakan keuntungan dan dukungan mereka. Yang kemudian hal ini menciptakan kelas sosial baru yang setia kepada Belanda dan memisahkan mereka dari rakyat, begitu pula yang terjadi di tanah Papua saat ini. Dimana Indonesia memberikan Papua Otonomi Khusus (Otsus) lalu dikontrol balik oleh Jakarta. Istilahnya, “Lepas Kepala Pegang Ekor” kemudian penguasa seolah-olah memberikan izin kepada pemimpin daerah(papua) demi menghancurkan persatuan dan keharmonisan orang asli Papua dengan politik praktis.  

Menerapkan Sistem Pendidikan Yang Diskriminatif:  Belanda menerapkan sistem pendidikan yang diskriminatif, di mana hanya orang-orang tertentu yang memiliki akses pendidikan yang baik. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kelas elit yang terdidik dan setia kepada Belanda, dan sekaligus membodohkan rakyat biasa. Kita semua tahu bahwa provinsi papua adalah provinsi termiskin di indonesia.Salah satu indikator orang miskin diperngaruhi oleh karena minimnya pendidikan dan pola pikir/pola pikir di masyarakat.

 Menjadi landasan pengetahuan dalam kehidupan suatu bangsa tetapi dengan minimnya pendidikan yang tepat membuat semua orang Papua berperilaku irasional. Dengan menggadaikan Pola pikir dan pola hidup ketergantungan kepada Jakarta sebagai sumber keuangan dan kehidupan. Ini adalah pola pikir orang malas padahal sebenarnya, di tanah Papua berlipah sumber daya alam yang begitu luas dan besar yang bisa memenuhi kebutuhan hidup orang Papua tanpa bergantung ke Jakarta sekalipun. 

Melarang Organisasi Dan Kegiatan Nasionalis:  Belanda melarang organisasi dan kegiatan nasionalis yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memberdayakan pergerakan nasional dan mencegah rakyat Indonesia untuk bersatu. Kemudian hal serupa juga terjadi di tanah Papua. Dengan cara melakukan perlawanan pembungkaman ruang demokrasi terhadap orang asli Papua yang melawan Jakarta, dan juga terhadap orang Papua yang berjuang bersama masyarakat rakyat akar rumbut untuk menentukan nasibnya sendiri, dan untuk menetukan hak hidup sebagai manusia dari pandangan dan stikma separatis, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB ), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan lainnya.

 Padahal, kebebasan adalah hak setiap orang yang harus diperjuangkan, diindahkan, dilestarikan, dan dijunjung tinggi oleh seluruh manusia di dunia termasuk rakyat Papua. Saya percaya jika orang asli papua tahu siapa diri mereka dan jati diri mereka sebagai orang Papua yang sesungguhnya.Maka, rakyat akan bangkit untuk memperjuangkan dan menegakkan hak hidup setiap orang Papua di tanahnya sendiri. Meski begitu, terkadang ada segelintir orang Papua yang juga abu-abu dan gila untuk bisa bersimpati, alias menjadi penjilat kolonial Indonesia demi sepiring nasi.

Sehingga berlandas dari beperapa poin di atas Politik Devide et Impera Belanda terbukti cukup efektif dan sadis dalam mengumpulkannya perlawanan rakyat Indonesia pada massanya. Namun, strategi ini juga menciptakan konflik berkelanjutan dan genosida, seperti munculnya permusuhan antar etnis dan agama, serta ketimpangan sosial tinggi yang terjadi di Tanah Papua.

Indonesia menggunakan banyak strategi yang ia pelajari dari Belanda sebagai praktik untuk mendominasi Papua.Salah satunya adalah “Politik Devide Et Impera” sebagai strategi, taktik dan politik, kemudian menguasai tanah Papua. Seperti yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan menggunakan banyak strategi, maka Politik Devide Et Impera menjadi taktik dan cara Indonesia untuk menghancrukan Ras dan Etnis orang Papua dari tanahnya sendiri.   

Setelah melewati berbagai sistem yang telah menguasai indonesia pada masa penjajahan. Rakyat Indonesia berhasil bangkit dan bersatu untuk melawan kolonialisme Belanda. Politik Devide Et Impera Belanda tidak mampu menghentikan semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.Jika Kita semua sadar dan tahu siapa diri Anda maka, setelah pesta demokrasi ini berakhir, renungkan tentang hal apa yang akan Anda buat bagi orang asli Papua. Setelah pesta demokrasi anda akan berlangsung selama 5/10 tahun sebagai penguasa di tanah Papua, sebagai perpanjangan tangan Indonesia di Tanah Papua.

Sehingga pertanyaannya adalah, Apakah Anda akan membangun Manusia Papua dengan Memanusiakan Orang Papua, atau sebaliknya menjadi pemusnah Manusia Papua di atas tanah dan bangsa merka sendiri.

Seperti yang kami ketahui di astas bahwa, Politika Devide Et Impera adalah bentuk kolonialisme yang digunakan oleh bangsa penjajah terhadap bangsa yang merka kuasai, tanpa mempedulikan hak hidup Masyarakat setempat.Atas kepentingan diri sendiri.

Oleh karena itu, tulisan terkait Politik Devide Et Impera oleh Belanda di Indonesia ini menjadi referensi untuk melihat Indonesia di Papua saat ini, sehingga penting untuk dikaji lebih dalam, supaya diketahui oleh semua orang Papua dan generasi Papua. Agar bangkitkan kembali nasionalisme tentang perjuanagn atas tanah air di kalangan masyarakat akar rumbut, untuk Kembali melawan penjajahan di atas tanah Papua. Atas dasar Kemanusiaan dan Keadilan sesuai Amanat Pancasila bahwa , “Kemanusiaan yang Adil dan Beradap” maka harus diterapkan juga untuk rakyat Papua.

Catatan;

Persamaan dalam Kolonialisme Indonesia menggunakan Politik Devide Et Impera :

Tujuan: Baik Belanda di Indonesia maupun Indonesia di Papua menggunakan politik devide et impera untuk memecah belah rakyat dan memicu perlawanan. 

Metode: Kedua pihak menggunakan metode serupa, seperti: 

1.        Membagi rakyat berdasarkan wilayah, suku, etnis, dan agama. 

2.      Mengadu domba pemimpin lokal. Memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu.

3.       Penerapan sistem pendidikan yang diskriminatif. Melarang organisasi dan kegiatan yang dianggap membahayakan.

Konteks:  Belanda menggunakan Politik Devide Et Impera untuk menjajah Indonesia, sedangkan Indonesia menggunakannya untuk mempertahankan kendali atas Papua demi kepentingan sumber daya Alam Papua.

Motivasi: Belanda termotivasi oleh keuntungan ekonomi dan politik, sedangkan Indonesia termotivasi oleh keuntungan ekonomi dan politik serta keinginan untuk menjaga keutuhan wilayahnya dan kepentingan sumber daya Alam . 

Dampak: Politik Devide Et Impera Belanda di Indonesia sudah lama berakhir, sedangkan di Papua masih terus berlangsung dan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti: 

    Konflik dan Kekerasan. 

    Pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

    Kesenjangan Ekonomi dan Sosial. 

Kesimpulan.

Oleh karena itu, meskipun terdapat persamaan dalam metode  Politik Devide Et Impera  di Indonesia. Namun, memiliki konteks, motivasi, dan dampak yang berbeda di Papua.Penting untuk memahami perbedaan ini agar dapat mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan di Papua.

Maka perlu dikaji lebih lanjut tentang bagaimana  Politik Devide Et Impera  di Papua telah diimplementasikan dan apa saja dampaknya. Karena ini Penting untuk mencari solusi yang damai dan berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan di Papua, dengan mengedepankan dialog dan penghormatan terhadap hak-hak manusia pribumi di Tanah Papua.

Dengan demikian , Politik Devide Et Impera  ini merupakan strategi dan taktik yang sangat berbahaya untuk masa depan Papua. Oleh karena itu, berpotensi menciptakan Genosida dan permusuhan etnis, agama, dan wilayah secara perlahan. Maka Penting bagi kita untuk belajar dari sejarah agar tidak terjebak dalam politik adu domba. Oleh karena itu, Persatuan dan kesatuan bangsa adalah kunci utama untuk melawan segala bentuk penjajahan dan diskriminasi, termasuk lawan Kolonial Indonesia. Orang Papua harus Bersatu dan melawan kolonialisme di tanah Papua.


Photo: Ilustrasi Politika Devide Et Impera Indonesia Di Papua. Sumber, Aprisal Photo.


Marapna

Marapna merupakan sebua media independen yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas dalam jangkauan unformasi, terutaman seputar tanah papua. sekian dari kami, terimakasih dan Tuhan berkati.

.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama