Wacana Pembangunan, Hanya Janji Manis yang Tumpul Diatas Tafsiran.

Oleh, Sehend Sama.

Pengantar.

Papua seringkali dihadapkan dengan janji-janji politis, kalimat utama yang menjadi senjata adalah "Pembangunan, Bangun Papua, Sejahtera, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat yang menurut saya itu tak penting". Manis di mulut tapi, tumpul pada tindakan", kesejahteraan masyarakat Papua diramalkan dengan berbagai ide dan cara namun tidak menemukan jalan keluar/solusi. Sehingga judul diatas menggambarkan semua pendekatan negara di tanah Papua, dimana negara mencoba masuk dengan berbagai cara dan taktik tetap, selalu dan akan terus tumpul diatas "Tafsiran".

Mengapa demikian, karena pada dasarnya jika penjajah/ penguasa ingin menguasai wilayah, atau suatu tempat. Pasti mereka akan selalu gunakan jargon/kalimat yang manis seperti pembangunan, kesejahteraan, dan lainnya itu. Seolah-olah ingin meyakinkan rakyat jika kehadirannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertinggalan. Lalu menggunakan metode dan taktik-taktik rendahan itu untuk meyakinkan masyarakat bahwa, kehadiran dirinya membawa keselamatan atau dalam versi orang kristen “Juru Selamat” Karena taktik semacam ini sudah ada sejak lama dan  digunakan juga oleh negara-negara penjajah lain untuk menguasai wilayah yang ingin mereka kuasai, Indonesia salah satunya.

Melihat dari sisi lain. Misalnya sejak Belanda menjajah Indonesia, selama itupun Belanda gunakan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah kalimat "pembangunan, dan kesejahteraan" kedua kalimat ini selalu menjadi suatu senjata utama kolonial Belanda untuk meyakinkan masyarakat Nusantara agar menerima pendekatan Belanda. Namun pada kenyataannya, Belanda hanya mementingkan dirinya sendiri, lalu rakyat pribumi yang dijanjikan dengan kesejahteraan itu, menjadi objek dan budak pekerja paksa oleh rezim VOC. 

Kemudian hal ini juga yang menjadi praktek Indonesia untuk menerapkan kepada masyarakat lain di Indonesia terutama kepada rakyat Papua. Praktek ini dapat dilakukan dengan cara  lama seperti yang dilakukan Belanda tetapi mengubah tampilan permainan dengan versi Indonesia. Yaitu, (Neo Kolonialisme) prakterk liciknya adalah dengan diberikannya pemekaran wilayah baru atau (DOB) dan Otsus untuk mempersempit ruang gerak rakyat Papua, kemudian negara juga sering gunakan Rasisme untuk merendahkan martabat Manusia Papua dan mematikan psikologis rakyat Papua agar selalu minder dan merasa rendah, terbelakang, kotor, ketika berhadapan dengan bangsa lain yang merasa superior. Akibatnya rakyat papua hari ini hidup diatas tekanan batin yang berkelanjutan.

Hal semacam ini selalu digunakan sebagai senjata oleh penguasa yang korup dan haus akan darah, termasuk dilakukan oleh kolonial Indonesia untuk orang Papua. Dimana orang Papua secara kultural dan ras sangat jauh berbeda dengan Indonesia, namun negara tidak mampu melihat perbedaan itu sebagai keistimewaan. Tetapi sebaliknya negara menganggap perbedaan kultural dan ras orang papua itu sebagai sesuatu yang jijik, hal itu ditunjukkan dengan adanya rasialisme dan apropriasi budaya yang terjadi di berbagai daerah di indonesia terhadap orang Papua. Yang lebih menonjol adalah Rasisme 2019 yang juga rakyat Papua merasa terancam dan tersakiti karena melukai batinnya sebagai orang papua. Dimana sejak lahir sang pencipta telah mewariskan ras melanesia sebagai identitasnya dan final.

Namun, ras dan budaya yang dimiliki orang papua tak dianggap penting oleh negara ini. Negara yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku di setia suku. Namun pada prakteknya tak seindah ucapan manis dalam “Bhinneka Tunggal Ika”. Orang papua selalu diinjak martabatnya dengan pandangan kredil, hal itu secara terang-terangan disampaikan oleh anak presiden pertama republik indonesia dengan frasa “kopi susu” dalam ucapanya kira-kira seperti ini:

 “Maaf ya, sekarang dari Papua. Papua itu kan hitam-hitam, ya. Tapi maksud saya begini, waktu permulaan saya ke Papua, saya mikir, lho aku dewean yo (sendirian, ya). Makanya kemarin saya bergurau dengan Pak Wimpi. Kalau dengan Pak Wimpi dekat, nah itu dia ada. Kopi susu.” 

Ucapan semacam ini, sebagai seorang agademis atau yang juga pernah menjabat sebagai presiden tak seharusnya mengeluarkan frasa kredil ini. Namun begitulah indonesia, merka akan selalu menggunakan banyak cara bahkan kalimat yang akan selalu merndahkan orang papua. Dari frasa ini saja menggambarkan kalau keberadaan orang papua di indonesia itu seperti barang jijik yang tak berguna. Dan berharap penuh untuk mengubah gaya hidup, ras, dan budaya papua seperti orang jawa/ jawa sentral.

Kemudian, hal serupa juga terjadi pada pakaian adat papua yaitu (Apropriasi Budaya). Apropriasi budaya sendiri adalah dimana suatu bangsa atau seseorang yang tak paham tentang alat budaya yang Mereka gunakan, dan pakai pakaian adat itu dengan seenaknya lalu meniru gerakan-gerakan padahal buta denganarti sesungguhnya. Atau lebih tepatnya meniru budaya suatu tempat untuk kepentingan pribadi tanpa memahami arti daripada apa yang mereka gunakan.

Hal itu dilakukan juga orang-orang terkenal yang juga kalangan teratas yang merasa superior di indonesia. Kemudian hal ini sering menjadi bahan eksploitasi misalnya dalam segi komersial, dalam iklan, sehingga pelakunya mendapatkan manfaat ekonomi dari stereotip kebudayaan tersebut. Lalu orang yang punya budaya menjadi objek yang harus ditindas dari berbagai lini.

apropriasi budaya ini terjadi manakala sekelompok masyarakat dominan mengambil elemen budaya dari kelompok masyarakat merka anggap minoritas, misalnya pakaian, gaya rambut, dan lain sebagainya secara eksploitatif, tidak menghargai, atau stereotipikal. Praktek ini terjadi terhadap bangsa papua oleh kolonial indonesia.

Sehingga bhinneka tunggal Ika hanya menjadi semboyan tanpa arti dan makna sesungguhnya, terkesan memaksa kehendak orang papua untuk mengaku diri sebagai nkri harga mati, padahal nasionalisme itu tidak lahir dan tidak ada di hati orang papua untuk mengaku dirinya sebagai bagian dari indonesia. Semboyan semacam ini dipaksakan untuk menjadi benih dalam lubuk orang papua, tetapi negara tak mampu menanamkan hal itu sebagai benih yang berakar. Seperti yang dikatakan Yesus pada Kitab (Injil Lukas)  bahwa, Sebagian benih “jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis: Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar” Karena pada dasarnya nasionalisme itu tumbuh sendiri tanpa ada paksaan, dari siapapun dan dari pihak manapun. Jadi Orang Papua akan merasa bagaian dari Indonesia apabila tidak ada operasi militer, Rasisme, Genosida, deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, genosida, dan bentuk penindasan lainya yang berdiam dalam tubuh bangsa Papua Barat. Keberdaan indonesia diatas Tanah Papua ibarat benih yang jatuh di tanah berbatua, mencoba menumbuhkan nasionalisme nkri tetapi tak berakar dalam hati rakyat papua.

Wacana Pembangunan Hanya Janji Politis.

Pembangunan berbasis kemanusiaan itu bukan tentang bagaimana kita membangun kesadaran manusia dengan nasionalisme basi seperti nkri harga mati, bukan juga tentang pembangunan material, seperti jalan, bangunan, dan rumah. Hal-hal ini akan ada dengan sendirinya seketika pendidikan dan nilai kemanusiaan itu dianggap penting dan ketika menghormati orang dari perbedaan kultural dan ras. Pembangunan jalan dan rumah tidak bisa diukur dengan nilai kemanusiaan, Kemanusiaan adalah hal paling utama yang patut dihormati oleh siapapun.

Di Indonesia dengan kurangnya pengetahuan tentang kemanusiaan melahirkan orang-orang yang malas tau tentang manusia, saudara sebangsa/setanah air yang dibunuh dan dihilangkan Nasib mereka tak dianggap sebagai manisia, namun nyawa mereka  tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan saudara jual saudara demi rupiah itu menjadi kebiasaan, sehingga nila kemanusiaan yang adil dan beradab sangat rendah di negara ini. Kemudian tak terlepas dari itu, akibat daripada kepentingan negara yang ngotot akan Pembangunan melahirkan terjadinya konflik horizontal dan konflik agraria di papua. Terutama konflik agrarian  semakin meningkat di tanah Papua memakan banyak korban jiwa dari Masyarakat sipil yang pro dan kontra, lalu seperti yang kami ketahui bersama akhir-akhir ini semenjak awal pengesahan Otsus dan Dob di papua, terjadi dampak buruk di sektor agrarian, hal itu terjadi di Wamena dalam kasus penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan Tengah. Dan kasus serupa terjadi di antara suku Lani dan Mee di Distrik Uwapa, Nabire akibat transaksi Tanah adat serampangan oleh orang yang bukan pemilik tanah adat.

Dari beperapa peristiwa yang terjadi di Papua ini, mempresentasikan hasil dari proses pengesahan DOB yang konon katanya untuk mendorong jalannya proses pembangunan dan kesejahteraan rakyat  papua. Namun, tidak sesuai dengan kajian yang diutarakan oleh oportunis local papua dan jakarta dalam menafsirkan masa depan bangsa Papua. Faktanya, menemukan jalan buntu yang tidak terarah dan tumpul diatas tafsiran dalam produk-produk kolonial Indonesia itu. Indonesia wajar dibilang kolonial karena pada prakteknya tidak jauh berbeda dengan Belanda yang juga penjajah bagi Indonesia. Di abad 21 ini Indonesia justru mentransgenderkan hegemoni politik ke arah yang lebih maju dan memainkan peran dengan sistem yang keji (New kolonialisme) di Papua. Dimana praktek kolonialisme lama itu diubah dengan cara baru dan terstruktur.

Kemudian, akibat daripada produk kolonial ini juga menutup semua jaringan masyarakat untuk beraktifitas seperti sebelumnya. Tak ada ruang kebebasan bagi masyarakat untuk berkebun dan berburuh di hutan, sementara sejak dulu rakyat papua hidup berdampingan dengan alam semesta. Hutan, air, dan tanah bagi orang papua adalah “Ibu” yang menghidupi mereka. Namun, dengan adanya DOB ini makin mempersempit ruang gerak orang papua.

Yang lebih sadis adalah, ketika orang papua hendak mau berkebun. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah KTP, jika tak ada KTP maka masyarakat tak dapat masuk ke kebun untuk mecari Umbi dan kebutuhan lainya. Hal ini membuktikan bahwa, kalimat “Kesejateraan dan Pembangunan” hanya janji polotis jakarta untuk memuaskan hasratnya, Karena sejauh ini tidak memberikan dampak positif. Dengan demikian jalan satu-satunya adalah memberikan kebebasan seutuhnya kepada orang papua untuk hidup dan menikmati kebebasan selayaknya anusia lain di luar sana.

Solusi Penyelesaian Konflik Papua.

Konflik yang terjadi di papua sejak 1961 sampai dengan 2023 ini memakan banyak korban dan merupakan hasil daripda pendekatan Indonesia yang memihak pada kepentingan objektif. Kemudian menunjukan wajah kekuasaannya melalui kapitalisme global dan turut bermain dalam kepentingan ini. Sehingga rakyat papua menjadi subjek yang tak terkontrol.

Lalu tanpa melihat kehidupan rakyat papua yang selalu berputar pada roda yang sama (Penindasan), negara dengan percaya diri membuat produk-produk baru yang berpihak pada pemodal asing, atau modal dalam kondisi Masyarakat kapitalisme bagi penjajah Indonesia. Jadi, Ruang gerak Masyarakat papua diibaratkan seperti “Ikan dalam Aquarium” seluruh kehidupan berada dibawa kontrol negara. Tidak seperi yang dikatakan dalam prinsip atau asas negara tentang keadilan bagi seluruh rakyat, dan kemanusiaan yang adil dan beradab, hal-hal ini tak ditegakan bagi orang papua selama berada dalam bingkai kolonial indonesia.

Sehingga, untuk menegakan misi penyelesaian persoalan papua tak bisa kita menafsirkannya hanya dengan pendekatan yang berbasis Pembangunan secara fisik. Seharusnya negara bisa belajar dari pengalam kelam. Bahwa, Pembangunan secara fisik/materil tidak pernah memberikan dampak positif yang mampu menarik antusias Masyarakat papua agar merasa diri bagian dari Indonesia. Tetapi dengan adanya berbagai alasan itu, hanya menambah luka didalam luka yang tak akan pernah sembuh.

Negara menjajikan kesejahteraan tetapi, dibalik kata kesejahteraan itu pembunuhan terjadi dimana-mana, kolonialisem,militerisme,kapitalisme, itu tumbuh subur di atas tanah papua sebagai monster pemusnah manusia. Maka, jalan satu-satunya yang harus negara lakukan agar orang papua aman dan berdamai di tanahnya adalah. Memberikan kebebasan sesuai bunyi UUD 1945 yang mengatakan. Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Hal ini juga harus ditegagakan untuk orang papua, karena kehidupan orang papua saat ini tidak sesuai dengan perokemanusiaan dan perikeadilan. Orang papua hidup dalam tekanan Psikologi yang berbasis Genosida. Negara janagn hanya mampu melihat semut di seberang lautan namun, tak mampu melihat Gajah di pelupuk mata. “Papua Masih dijajah”

“Papua Bukan Tanah Kosong”

 “Hidup Rakyat papua”

“Hidup Rakyat Palestina”



 Photo: Peta Papua Dan Papua New Guinea .

Marapna

Marapna merupakan sebua media independen yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas dalam jangkauan unformasi, terutaman seputar tanah papua. sekian dari kami, terimakasih dan Tuhan berkati.

.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama