Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak, Wainambe, Amakanie, Amolongo, Kinaonak, Wiwao, Wa...wa...wa...wa…
Perjanjian
Roma/Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962
setelah Perjanjian New York/New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kedua
perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat
Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat
Papua. Berikut isi Perjanjian Roma (Roma Agreement):
Perjanjian Roma
yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian
yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New
York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan
Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional
yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang
mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA
kepada Indonesia.
Sehingga,
berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah
dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda
kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei
1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui
operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih
ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport
perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani
Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.
Klaim atas wilayah
Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun
sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua
yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah
dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk
Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis,
penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
teror, intimidasi, penahanan, penembakan
bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera
reformasi-nya Indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi
Indonesia. Sebelum dan sesudah PEPERA yang ilegal di lakukan ada pun, DOM
(Daerah Operasi Militer) di lakukan di seluruh tanah Papua, dari tujuan-nya
Indonesia mengkoloni Papua Barat sebagai daerah jajahan sampai Saat ini dengan
militeristik dan system yang ganas
Salah satu perjanjiannya
adalah penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda,
Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West
New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa
keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Padahal perjanjian itu
berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang
telah Merdeka.
Perjanjian ini
mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang
mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib
Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional,
yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur
transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada
Indonesia.
Setelah
transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua
Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan
penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun.
Namun ternyata,
Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York.
Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi
militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat. Dengan itu, sebelum
proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA (Penentuan Pendapat
Rakyat), tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara
imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan
pemerintah Indonesia secara ilegal.
Klaim atas wilayah
Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama
Freeport dua tahun sebelum PEPERA. Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat
yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan
cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, Kolonial Indonesia
melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional,
yang mana harus “Satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur
juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional. Musyawarah untuk
Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis,
penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat
selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia.
Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur
dalam Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) pada November 1969, dengan alasan kolonial
Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam
resolusi yang ilegal.
Kini memasuki 61
tahun sejak penandatanganan Roma Agreement yang ilegal tersebut. Rakyat bangsa
papua di perhadapkan dengan Situasi hari ini yang semakin Parah dengan berbagai
macam regulasi yang pro borjuis dan kapitalis yang disahkan dalam beberapa
tahun terakhir. Seperti Omnibuslaw, Minerba, ITE, KUHP, & Otsus Jilid II
serta DOB yag semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan
rakyat papua secara khusus. Implementasi dari berbagai macam regulasi ini maka
pembungkaman ruang demokrasi semakin massif terjadi, kriminalisasi dan
penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM, Eksploitasi
sumberdaya alam secara massif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib
masadepan masyarakat, pengiriman dan operasi militer yang terus dilakukan ke
papua guna mengamankan segala kepentingan Negara kolonial Indonesia dan tuannya
kapitalis.
Keadaan dari
manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat dan Masifnya penjajahan oleh
Kolonial Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini,
dengan rakyat papua sebagai korbannya. Hanya dengan Menentuan Nasib Sendiri
rakyat bangsa papua barat dapat terlepas dari segala belenggu penindasan.
Maka, dalam rangka
peringatan 61Tahun Perjanjian Roma (Roma
Agreement) yang Ilegal, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menyatakan sikap kami
kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika Serikat dan PBB untuk segera:
1. Memberikan
Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi
Rakyat West Papua.
2. Mengakui
bahwa Roma Agreement 30 September 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah
secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua
Barat.
3. Tarik
Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.
4. Tutup
Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya,
yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.
5. PBB
harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam
proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang
terjadi terhadap bangsa West Papua.
6. Buka
Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional,
Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.
7. Cabut
dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh
regulasi produk Kolonial Indonesia di west papua.
Medan juang,Tanah Kolonial 30 September 2023.