Jangan pertaruhkan dunia dan hilangkan jiwamu, kebebasan lebih baik daripada perak atau emas.- (Bob Marley)
Lebih baik mati berjuang demi kebebasan daripada menjadi tahanan sehari-hari dalam hidup Anda.- (Bob Marley)
Siapa yang tak kenal Robert Nesta “Bob” Marley? Tapi mungkin tak banyak yang tahu kalau legenda musik reggae yang mashyur itu lahir dari rahim seorang budak kulit hitam. Segregasi kelas sosial yang sangat tajam dalam masyarakat Jamaika menjadikan si anak budak ini hidup dalam satu kata, ‘perjuangan’.
Ibunya yang budak
itu bernama Cedella, sementara ayahnya Norval Sinclair Marley adalah seorang
kulit putih. Namun, begitulah hidup. Ketika sekat pemisahan rasial telah
menganak-pinak, hal-hal substansial dalam aspek manapun barang tentu mengalami
keterlantaran tak terperi. Norval Marley yang angkuh dengan dandanan kulit
putihnya pergi meninggalkan Cedella dalam kondisi hamil.
Kita boleh saja
menganggap Norval bedebah ataupun lelaki brengsek tak punya wibawa. Akan
tetapi, Jamaika memang kala itu hidup dalam romantisme ekonomi dan politik yang
serampangan. Jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, yang putih dan yang
hitam, yang kolonial dan yang budak sangat dalam terasa (bdk. Jube Tantagode,
Reggae, Ayyana, 2012, hlm. 59-60).
Ibunya kemudian
membawanya pindah ke Kingston, tepatnya di Trench Town. Di sinilah, Bob
menemukan ‘panggilan’ hidupnya berlatarkan situasi jalanan yang penuh dengan
minuman keras, konflik antargang, hingga kekerasan-kekerasan fisik lainnya.
Menariknya, musik menjadikan anak-anak gang semacam dirinya terinspirasi untuk
menentang kesemena-menaan penguasa.
Irama R&B,
Soul, dan Ska menjadi yang paling disukai sosok kelahiran Nine Miles, Jamaika,
06 Februari 1945. Tak pelak bahwa ragam musik itulah yang menggiringnya
menguniversalkan genre fenomenal bernama ‘reggae’. Syahdan, Bob Marley pun
mencoba menyanyikan lagu-lagu kesukaannya pada berbagai studio kecil di
Kingston.
Dari situlah,
karirnya di dunia musik mulai terpatri. Ia berkenalan dengan para musisi dan
penyanyi Jamaika lainnya. Hingga pada awal 1962, Bob Marley, Bunny Livingstone,
Peter Tosh, Junior Braithwaite, Beverly Kelso dan Cherry Smith membentuk grup
The Teenager yang kemudian berubah menjadi The Wailing Rudeboys, lalu The
Wailing Wailer, hingga akhirnya The Wailers.
Tentu, ada begitu
banyak cerita berkenaan dengan Bob Marley. Pengalaman-pengalaman, lika-liku
perjuangan hidupnya memberikan kenangan bermakna bagi pencinta reggae
khususnya, dan masyarakat dunia umumnya.
Ini tentang
bertahan dan mengembangkan hidup. Juga tentang bangun dari himpitan situasi
yang tak kondusif, dan berjuang untuk tegar berdiri. Kisah Bob Marley memang
tak pernah tuntas.
Ada jutaan orang
yang tetap setia mendengar karya-karyanya. Lagu-lagu Bob Marley yang selalu
lahir dari konteks sosial tertentu merupakan hiburan serentak peletup semangat
untuk senantiasa berjuang dari keterpurukan. Selalu saja terdapat pesan yang
hendak disampaikan “The Prophet”, begitulah ia disapa dalam kalangan
rastafarian.
Sekali lagi,
perjuangan hidup adalah kata kunci utama untuk mengeksplanasi keseluruhan
perjalanan hidup sang legenda. Seperti yang sudah dikatakan, ia sudah merasakan
itu sejak berada dalam kandungan ibu. Diskriminasi rasial yang berujung pada
distorsi-distorsi sosial lainnya juga membuatnya berjuang untuk bisa
“menemukan” diri. Namun, sekali lagi musik menginspirasinya. Bob Marley melihat
musik (reggae) sebagai agama paling nyata baginya, terlepas dari anutan sebagai
seorang rastafarian.
Tatkala filosof
Ludwig Feurbach mengatakan bahwa agama adalah produk manusia yang teralienasi,
sebuah produk yang mana manusia kemudian kehilangan kontrol atasnya, dapat
dikatakan bahwa musik bagi Bob Marley bukanlah pelarian dari rasa tertekan dan
tertindas. Musik bagi pria putus sekolah ini adalah perjuangan itu sendiri, hal
nyata yang bisa bermakna bagi banyak orang.
Lagu-lagu awal
semacam Judge Not, Terror, dan One Cup of Coffe (1962) merupakan refleksi atas
bengisnya kolonialisme Inggris di Jamaika. Ataupun Simmer Down yang bercerita
tentang rude boy, panggilan bagi anak-anak gang yang hidup dalam tawuran dan
kekerasan.
Adapun No Woman No
Cry (1975) yang sakral itu berisikan hiburan dan penguatan kepada kaum wanita
akibat kehilangan harga diri, keluarga, dan orang-orang yang dicintai sekitaran
hidup mereka. Tak jarang, lagu-lagu Bob Marley pun mengusung ajakan revolusioner,
semisal seruan perlawanan dalam Get Up, Stand Up dan berbagai lagu lain dalam
album Burnin’ (1973).
Selain itu, Bob
Marley lewat karya-karyanya turut menyerukan semangat perdamaian bagi rakyat
Jamaika. Dengan ritual reggaenya, memejamkan mata sembari berjingkrak-jingkrak
dan mengacungkan kepalan tangan, Bob menghipnotis semua penontonnya larut dalam
setiap makna lagu-lagunya.
Rasa cinta pada
tanah airnya itu menghentaknya terlibat dalam konser The One Love Peace yang
mana menghadirkan dua pemimpin politik yang bertikai kala itu, Michael Manley
dan Edward Seaga. Aksi dramatis nan menyentuh pun disajikan.
Bob Marley
melantunkan lagu One Love diapiti kedua kubu yang berseteru, lalu mengangkat
tangan Manley dan Seaga, dan menyatukan dalam satu kepalan tangan pertanda
berakhirnya persengketaan kedua belah pihak (bdk. Jube Tantagode, ibid. hlm.
77). Sungguh luar biasa momen tersebut. Lagu One Love itu sendiripun menjadi
semacam himne kemanusiaan internasional yang melampai sekat suku, agama, dan
ras.
Hal lain yang ingin disuarakan “Sang Nabi” ialah soal cinta terhadap integritas diri. Pada prinsipnya, semua manusia itu sama, setara, dan sederajat. Oleh sebab itu, manusia bukanlah budak yang bisa diperalat begitu saja. Lagu Redemption Song (1980) menjadi salah satu daya kobar yang paling khas dengan jargonnya, “emancipate yourselves from mental slavery, none but ourselves can free our mind”. Artinya, Bob Marley sangat mendukung gerakan kaum kulit hitam, tidak hanya di Jamaika tetapi juga di Afrika, untuk bisa lepas dari setrapan rasialisme dan imperialisme. Bob Marley sadar bahwa dirinya merupakan anak seorang budak yang seringkali diperlakukan secara tidak adil.
Makanya, dia ingin
mengangkat harkat dan martabat kaumnya. Inspirasi dari ajaran Rastafari, sebuah
kepercayaan yang melihat Kaisar Ethiopia Haile Selassie sebagai titisan Tuhan
dengan teologinya bahwa Tuhan mahamengetahui dan mahamencintai, sangat
memengaruhi diri Bob Marley. Sehingga tidaklah mengherankan kalau lagu-lagu Bob
Marley seringkali diujarkan sebagai sabda-sabda Rastafarian.
Demikianlah
beberapa poin seputar Bob Marley dan perjuangan kemanusiaannya. Bob Marley
boleh jadi merupakan seorang nabi. Namun, hidupnya tak abadi. Ia wafat pada 11
Mei 1981.
Kepergiannya
menimbulkan duka mendalam bagi kaum Rastafarian dan para pencinta reggae
umumnya. Akan tetapi, karya-karyanya selalu terngiang kekal dalam keseharian
hidup penggemarnya. Kisah-kisah perjuangan dan keberpihakannya kepada kaum
pinggiran semestinya menjadi motivasi bagi kita sekalian.
Keberanian
menyuarakan kaum tak bersuara lewat musik adalah ekspresi positif yang pantas
diapresiasi. Memang harus diakui juga bahwa hidupnya tak mulus-mulus amat.
Kisah perkelahian, kekerasan, kecanduan terhadap ganja adalah semacam warna
lain dari sisi kelam hidupnya.
Namun, filosofi
perjuangan pada tataran yang lebih ekstensif adalah harga yang tak dapat
dibayar. Sehingga miris saja apabila orang yang seringkali mendaku pencinta
reggae hanya tahu bagaimana berjingkrak sana-sini dengan gaya rambut dreadlock,
ataupun berkoar sana-sini tanpa punya kepedulian sosial terhadap realitas
hidup.
Photo: Roberth Nesta Marley.