Wajah Militerisme Di Papua

 


  Photo: Ilustrasi Operasi Militer di Papua.


Oleh: Sehend Sama)

 Pendahuluan.

Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa. Kebijakan tersebut menyebabkan militerisasi di dalam masyarakat. Pengaruh dan kekuatan militer sangat diperhitungkan di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam bidang sipil sekalipun. Pengaruh-pengaruh ini sangat jelas dalam sejarah berbagai pemerintah, khususnya ketika mereka terlibat di dalam ekspansionisme, misalnya Kekaisaran Jepang, Britania Raya, Jerman Nazi, Kerajaan Italia di bawah Mussolini, ekspansi Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia dalam Perang Saudara Rusia sehingga menjadi Uni Republik Sosialis Rusia dan pemerintahan Stalin yang belakangan, Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein, dan Amerika Serikat pada masa Manifest Destiny dan pembaharuan tentaranya.

Dengan pembenaran terhadap penerapan kekerasan, militerisme menekankan bahwa penduduk Sipil tergantung dan karenanya berada dalam posisi yang lebih rendah pada kebutuhan dan tujuan-tujuan militernya. Doktrin yang umumnya dikembangkan adalah perdamaian melalui kekuatan. Hal ini dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengamankan kepentingan-kepentingan masyarakat. Doktrin ini diwujudkan sebagai doktrin yang lebih unggul daripada semua pemikiran lainnya, termasuk pengutamaan hubungan-hubungan diplomatik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Militerisme kadang-kadang dikontraskan dengan konsep mengenai kekuatan nasional yang komprehensif dan kekuatan lembut (soft power) dan kekuatan keras (hard power).

Pada masa-masa kekuasaan militeristik inilah biasanya dijalankan pembantaian besar-besaran populasi penduduk. Mengapa? Karena bagi militer, semua urusan politik adalah juga perang, dan karenanya sah bagi mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan. Inilah bahaya terbesarnya. Militer, terutama di Dunia Ketiga, menjadi alternatif dari sipil karena mereka merasa mampu menegakkan law and order (keamanan dan ketertiban) ketimbang sipil yang selalu gaduh karena berbeda-beda ideologi dan kepentingan. Tapi mereka lupa kalau militer adalah semacam partai bersenjata, sehingga tidak ada lawan. Ketika militer berkuasa, dengan sendirinya menjalankan militerisme. Menjalankan kekuasaan dengan moncong senjata dan tank. Ketika militer berkuasa, maka Negara akan selalu ada dalam keadaan darurat atau siap perang. Bahkan ketika mereka memakai bentuk setengah-militer sekalipun, tetap saja dalil-dalilnya adalah militerisme. Ini seperti rezim Orde Baru di Indonesia.

Militerisme

Dalam keterangan tertulis yang diterima media Suara Papua dikatakan bahwa jejak rezim orde baru pada 1966 hingga 1998 ditumbangkan, kekuasaan dan otoritas pasukan keamanan di wilayah West Papua dan Indonesia. Seperti yang kami ketahui bahwa ketika negara membuka daerah jajahan baru pasti akan menggunakan militer dengan alasan pengaman negara, bukan hanya dirasakan rakyat Indonesia tetapi sudah terbukti di berbagai negara yang didomisili oleh militer. Militer-militer ini dikirim atas nafsu kekuasaan rezim demi membuka lahan baru atau peluasan wilayah.

Sejarah masuknya militer di Papua menjadi bukti nyata di mana ketika penentuan pendapat rakyat (PEPERA ) seharusnya dilakukan sesuai mekanisme yang ada bahwa satu orang satu suara (one man one vote), tetapi peristiwa itu tak memihak untuk orang Papua sebagai tuan atas Tanahnya. Pelaksanaan penentuan pendapat rakyat pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 rakyat dan bangsa Papua tidak ikut terlibat memilih menjadi bagian dari indonesia. Jumlah penduduk orang asli Papua yakni 809.337 orang pada saat pepera 1969, namun dari jumlah penduduk itu, (ABRI) kini TNI memilih dan menyeleksi sebanyak 1.025 orang. Artinya seluruh orang asli Papua tidak pernah ikut berpartisipasi dan memilih untuk tinggal dengan indonesia. Sehingga perlu ditegaskan bahwa 1.025 orang adalah pilihan ABRI bukan pilihan orang asli Papua. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) pun berada di bawah teror, intimidasi dan tekanan moncong senjata ABRI. Dalam proses aneksasi Papua ke dalam Indonesia, militer Indonesi memainkan peran sangat besar dan penting dengan cara yang manipulatif.

Peran militer ini sangat dibutuhkan oleh penguasa pada saat itu, karena momen tersebut adalah momen yang menentukan Papua akan merdeka keluar dari indonesia atau akan  bersama indonesia. Sehingga militer memainkan peranannya untuk mengawali penentuan pendapat tersebut, seandainya penekanan militer tidak dilakukan sejak itu maka orang Papua sudah merdeka sejak itu juga. Karena jika kami bandingkan jumlah yang dipilih ABRI dan jumlah orang asli Papua yang tidak memilih saat penentuan pendapat rakyat tidak sebanding. Sehingga hal ini bisa menjadi tolak ukur untuk melihat dinamika yang dihadapi rakyat Papua hari ini. Sebab sejak zaman orde baru hingga saat ini, negara masih menggunakan praktek lama.

Praktek ini menjadi kebiasaan buruk Indonesia dalam menguasai wilayah Papua yang harus dihapuskan atas dasar kemanusiaan. Dari tahun ke tahun pasukan militer yang dikirim ke Papua berubah-ubah namanya, seperti julukan pasukan setan yang pernah dikirim sebanyak 400 prajurit TNI yang tergabung dalam Pasukan Setan disiapkan pemerintah untuk terjun langsung ke Papua melawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah dilabeli teroris oleh pemerintah. Bahkan ada banyak pasukan operasi Patuh Cartenz 2022, Operasi Damai Cartenz ini merupakan pengganti dari Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi yang ini juga dikirim ke Papua dengan alasan untuk menjaga situasi keamanan di Papua. Operasi Damai Cartenz tersebut dilakukan pada 17 Januari hingga 31 Desember 2022. Setelahnya operasi Rasaka digelar pada 3 Februari sampai 31 Desember 2022.

Hal-hal ini menunjukkan bahwa militerisme di Papua itu masih ada dan dirasakan oleh rakyat Papua. Yang menjadi pertanyaan adalah negara bisa menyelesaikan militerisme di Aceh, namun tidak dengan Papua! Ada apa di Papua? Sementara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) padahal dua gerakan ini sama-sama punya misi yang sama bahwa keduanya ingin merdeka keluar dari Indonesia dan keduanya menjadi ancaman serius bagi negara. Namun Aceh hari ini hidup tenang karena negara berhasil menyelesaikan konflik dengan cara dialog, dan mengapa negara tidak mampu menyelesaikan persoalan Papua, seharusnya hal seperti ini menjadi bahan evaluasi oleh negara dalam menangani persoalan. Berbagai konflik dan operasi di Papua dipelihara negara dan bertumbuh seperti tumbuhan, sehingga kesadaran rakyat Papua untuk melawan negara bertumbuh pula seperti (pohon pisang) walaupun diinjak, dibunuh, dipotong, namun suara untuk merdeka selalu datang dari tahun ke tahun.

Militerisme Zaman Otsus

“Otsus pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi wilayah untuk mengatur dan mengurus diri sendiri. Namun otonomi bagi provinsi Papua lahir atas kepentingan negara, karena pemberian otonomi ini tak sama dengan negara lain. Semua kewenangan dan UU pun diambil alih oleh Jakarta hingga peraturan yang seharusnya diatur oleh daerah seperti MRP dihapus demi kekuasaan. Jakarta di Papua hari ini ibaratkan (lepas kepala pegang ekor) dan yang mengatur semua ini juga militer dan meloloskan berbagai rencana Jakarta.

Seharusnya negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi mengutamakan kemanusiaan tetapi tidak untuk Indonesia. Pada kenyataannya negara mengesahkan OTSUS dan DOB sementara operasi militer masih dilakukan negara di Papua, seperti pengungsian rakyat sipil di Nduga, Yahukimo, Maybrat, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan pada beberapa daerah di Papua. Namun di atas operasi elit politik Papua dan Jakarta mengesahkan RUU Otsus jilid II dan DOB dengan alasan kesejateraan. Padahal 122 organisasi rakyat Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) telah menolak pendekatan negara tersebut. Karena melihat dari 2 provinsi saja terjadi pembunuhan, pembataian di aman-mana, apalagi ditambah lagi 3 provinsi ini menjadi ancaman besar untuk rakyat Papua. Sehingga tidak ada keuntungan untuk rakyat Papua, yang ada perampasan tanah adat dan mempersempit ruang gerak perjuangan rakyat Papua.

Begitu juga pemekaran Daerah Operasi Baru (DOB) hanya akan diuntungkan bagi pemodal. Sebab pemekaran berpotensi untuk menyiapkan syarat-syarat aset modal di Papua. Misalnya, pembangunan jalan, infrastruktur kota serta aset vital lainnya seperti pembangunan pelabuhan, bandara, jalan trans, membuka dusun-dusun yang dianggap daerah terisolasi. Syarat-syarat ini sangat dibutuhkan guna mendukung percepatannya proses angkut barang mentah di Papua untuk memajukan proses produksi barang jadi di Eropa, Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya. Sebab akses modal menjadi semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI secara paksa. Peristiwa pemaksaan ini menjadi akar masalah sejarah massa lalu bagi orang Papua. Akar masalah ini yang mesti diselesaikan. Perpanjangan Otsus dan membuka daerah pemekaran baru tidak akan pernah menyelesaikan seluruh persoalan rakyat Papua.

Kesimpulan

Semua yang direncanakan Jakarta adalah mala petaka untuk orang Papua, tidak ada kesejahteraan yang abadi ketika bersama Indonesia. Kesejahteraan sesungguhnya sudah ada sejak lama sehingga jangan percaya penjajah, ”Tuan rumah tidak pernah berunding dengan maling yang datang menjarah rumahnya” (Tan Malaka). Penjajah tetaplah penjajah. Indonesia layak dibilang penjajah karena kehadiranya penuh tipu daya, merampas kekayaan alam, membunuh, tak pernah memberikan kenyamanan untuk orang Papua.

Hanya orang Papua yang bisa memberikan kesejahteraan bagi bangsanya sendiri, seperti yang ada dalam doa sulung Ishak Samuel Kijne, Wasior, 25 Oktober 1925 bahwa ”di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi akal dan marifat, tidak dapat memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. Doa ini menjadi kutukan bagi penjajah siapapun yang datang dengan berbagai cara di Papua, tetapi tidak akan pernah berhasil menyatukan orang Papua dan hal itu terjadi hari ini. Maka perjuangan rakyat Papua untuk merdeka adalah kebenaran yang harus diperjuangkan oleh seluruh orang Papua.

Tidak ada solusi lain untuk orang Papua selain menentukan nasib sendiri dan memimpin bangsanya sendiri, bangsa yang besar adalah bangsa yang punya harga diri, oleh kerena itu bangsa Papua cukup jadi korban Indonesia, cukup Indonesia menipu kita dengan berbagai tipu dayanya hari ini, kita harus bangkit dan mengusir penjajah, “Revolusi bukanlah sebuah apel yang jatuh ketika matang. Anda harus membuatnya jatuh” (Che Guevara). Maka usir penjajah untuk hidup damai di tanah air kita adalah solusi.

***

Referensi:

Jejak kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua (Dr. Socratez S. Yoman)

Suara Papua

Indoprogres

 

Marapna

Marapna merupakan sebua media independen yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas dalam jangkauan unformasi, terutaman seputar tanah papua. sekian dari kami, terimakasih dan Tuhan berkati.

.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama