"Memecah
Dilema Papua Sikapi Konflik Israel vs Palestina"
Oleh, Victor
Yeimo.
Dalam Prasasti
Mesir maupun Alkitab disebutkan tanah yang saat ini direbutkan Palestina dan
Israel adalah milik bangsa Kanaan; yakni orang Het, Yebusi, dan Girgasi. Bangsa
Kanaan telah tinggal di wilayah ini sejak milenium ketiga SM, jauh sebelum
munculnya bangsa Israel atau orang Ibrani maupun bangsa Palestina dalam
sejarah.
Abraham baru
pindah dari Ur Kasdim ke Tanah Kanaan (tanah perjanjian Tuhan) sekitar tahun
2000 SM. Ur Kasdim berada di Irak Selatan, tepatnya di Tell el-Muqayyar. Cucu
Abraham Yakub disebut sebagai Israel pada masa kelaparan pindah ke Mesir. Musa
memimpin exodus dari Mesir kembali ke Kanaan sekitar Abad ke-13 SM.
Sementara
Palestina moderen adalah orang dari Filistin (Turki) yang tiba di Kanaan
abad 12 SM. mendirikan lima kota besar di sepanjang pesisir, termasuk Gaza,
Ashkelon, dan Ekron. Lalu, pada abad 7 M, orang Arab (yang juga keturunan
Ismael anak Abraham dari Hagar) tiba di Kanaan dan memperkuat identitas baru
dengan unsur-unsur Arab. Di bawah kekuasaan Ottoman (1517-1917), wilayah
ini dikenali sebagai Palestina.
Jadi tanah yang
diperebutkan saat ini dimiliki lebih dahulu oleh bangsa Kanaan Kuno. Bangsa
Kanaan sudah mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Filistin dan Arab dan
membentuk kesadaran kolektif kebangsaan yang diperkuat oleh sejarah politik
sosial menjadi bangsa Palestina.
Bangsa Israel
mengembangkan identitas kolektif yang kuat sebagai hasil dari sejarah, tradisi,
dan pengalaman bersama, termasuk peristiwa2 seperti pengeluaran dari Mesir
(Exodus), pembentukan kerajaan, dan masa pembuangan. Israel (yang mengklaim
sebagai keturunan Abraham, Ishak dan Yakub) juga merupakan kelompok yang
berinteraksi dan berasimilasi dengan suku-suku Kanaan serta bangsa-bangsa lain
di sekitarnya.
Silahkan bersikap
dan memeberi dukungan sesuai keyakinannya masing-masing. Orang Kristen
percaya bahwa keberadaan Israel merupakan penggenapan nubuat Alkitab, dan
kembalinya Yahudi ke Tanah Suci sebagai bagian dari rencana akhir zaman
(eskatologis). Mereka yang Muslim menganggap Palestina sebagai tanah yang suci
dalam Islam, terutama karena di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa di Yerusalem,
situs suci ketiga umat Islam.
Tetapi sebagai
pejuang kemerdekaan, kita bisa mengambil posisi mendukung perjuangan keadilan
dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina—bukan berdasarkan identitas
agama, tetapi karena kesamaan dalam hak asasi manusia dan perjuangan
anti-kolonialisme. Palestina adalah simbol perlawanan rakyat melawan perampasan
tanah, penghapusan identitas, dan kebijakan penjajahan yang menindas. Pejuang
Papua tidak perlu ikut serta dalam kebingungan dunia soal agama, tapi cukup
berdiri di sisi yang berjuang untuk kemerdekaan.
Papua tak perlu
dilema. Berdiri untuk Palestina adalah bagian dari berdiri untuk diri sendiri.
Membela yang dijajah adalah bagian dari membela kebebasan universal. Dalam
menghadapi dunia, Papua dapat menunjukkan bahwa perjuangan mereka melawan
penjajahan Indonesia adalah bagian dari perjuangan global melawan segala bentuk
penindasan, entah di Palestina atau di tempat lain.
Jika saya percaya
Yesus, maka saya tunduk pada perintah terbesar, untuk mengasihi Tuhan dan
Sesama (Mat 22:37-40). Mengasihi sesama berarti menolak segala bentuk kekerasan
dan ketidakadilan. Eskatologi memang bagian penting dari iman Kristen, tetapi
itu tidak berarti harus mendukung semua tindakan politik Israel tanpa pandang
bulu.
Seperti yang
Yesus sendiri tunjukkan, “pohon dikenali dari buahnya” (Matius 7:16), artinya
pengikut Kristus harus menilai tindakan bukan berdasarkan siapa yang
melakukannya, tetapi apakah tindakan itu sesuai dengan kebenaran dan kasih.
Yesus mengajarkan
bahwa kasih juga berarti berdiri di pihak yang tertindas dan memperjuangkan
keadilan (Matius 25:34-40). Saya tidak akan tunduk mendukung kejahatan politik
Israel karena Yesus sendiri dalam Matius 23 tidak tunduk di bawah pemimpin
Yahudi yang menggunakan aturannya untuk menindas.
Yesus mengecam
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang munafik, karena mereka lebih
mengutamakan legalisme daripada keadilan, belas kasih, dan iman. Yesus tidak
datang untuk memperkuat supremasi atau politik Israel, tetapi untuk
memperkenalkan hukum kasih yang universal dan melampaui batas bangsa.
Dalam Kisah Para
Rasul 1:6-8, mereka bertanya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan
kerajaan bagi Israel?” Namun, Yesus tidak menjawab dengan membenarkan harapan
mereka akan pemulihan politik atau nasionalisme Israel. Ia tidak mengembalikan
fokus para murid pada nasionalisme atau kepentingan politik, tetapi justru pada
misi spiritual yang universal.
Jawaban Yesus
menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan duniawi yang terikat pada
batas politik atau etnis. Ia mengajarkan bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan
yang hadir dalam hati orang-orang yang hidup menurut kasih dan kebenaran Tuhan,
tanpa mempermasalahkan bangsa atau politik.
Sebagai pengikut
Kristus, kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih-Nya yang melampaui batas
bangsa dan politik, memperjuangkan keadilan dan damai bagi semua manusia,
termasuk bagi Palestina dan semua orang yang ditindas dan dirampas
hak-haknya.
Yesus menugaskan
murid-murid-Nya untuk “pergi ke seluruh dunia” dan menjadikan “semua bangsa”
murid-Nya (Matius 28:19). Ini menunjukkan bahwa misi-Nya tidak hanya untuk
Israel, tetapi untuk seluruh umat manusia. Ia membuka jalan baru yang tidak
membatasi keselamatan atau berkat hanya pada bangsa Israel.
Dalam Yohanes
8:39-40, Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi yang mengandalkan status
sebagai keturunan Abraham: “Jikalau kamu adalah anak-anak Abraham, tentu kamu
akan melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan
sekarang ialah berusaha untuk membunuh Aku, seorang yang mengatakan kebenaran
kepadamu, yang Kudengar dari Allah.” Ini adalah pengingat bahwa keselamatan
tergantung pada iman dan perbuatan, bukan identitas bangsa.
Jika kita gunakan
pandangan eskatologis untuk mendukung Israel, maka apakah kita mendukung
kejahatan untuk menggenapi ayat-ayat Alkitab yang menghubungkan tindakan Israel
saat ini? Padahal, di akhir zaman, yang penting bukanlah identitas
politik atau etnis, tetapi bagaimana seseorang hidup dalam kasih dan kebenaran
yang Yesus ajarkan.
Kita hubungkan
Papua sebagai bangsa penggenapan dan bermimpi Israel akan dukung kemerdekaan
Papua. Faktanya, Israel bertindak pada kepentingan ekonomi dan
geopolitik, bukan pada nilai-nilai Alkitabiah yang mengedepankan kasih dan
keadilan. Kebijakan luar negeri Israel sebagian besar didorong oleh tujuan
strategis dan aliansi dengan negara-negara yang menguntungkan mereka dalam
aspek militer dan ekonomi.
Sekalipun
Indonesia dukung Palestina Merdeka sambil jajah Papua, faktanya produk Israel,
terutama di sektor teknologi dan pertanian, diekspor ke Indonesia. Israel
memiliki kerjasama dalam bidang keamanan dan pertahanan, terutama dalam
pelatihan dan pertukaran informasi. Meskipun detail kerjasama ini sering kali
tidak diumumkan. Beberapa perusahaan Israel telah bekerja sama dengan
perusahaan Indonesia di sektor teknologi, termasuk teknologi informasi dan
cyber.
Jadi
kesimpulannya, tanah bangsa Kanaan yang diduduki oleh bangsa lain dan membentuk
identias kolektif menjadi bangsa Palestina dan Israel. Palestina telah
teridentifikasi sebagai entitas yang haknya terampas, sementara Israel
mengklaim wilayah tersebut berdasarkan sejarah dan keyakinan religius. Tanah
Kanaan, yang kini menjadi wilayah Israel dan Palestina, adalah pusat konflik
yang melibatkan klaim dan identitas berbagai bangsa.
Kita mendukung
Palestina dalam perjuangannya untuk kembali merdeka di tanah airnya, sambil
menolak segala bentuk terorisme, termasuk yang berbasis agama, yang hanya memperpanjang
siklus kekerasan dan penderitaan. Kita juga harus berjuang memastikan Indonesia
tidak menjajah Papua. Dengan menolak penjajahan dan penindasan, serta mengecam
kekerasan yang merusak, kita membangun dunia di mana setiap orang dapat hidup
dengan martabat dan kedamaian.